Disuatu
siang kami berbincang hangat tentang tipologi #"Guru"
Teman
makan kala siang itu bicara "Bro, nt "berasa" ga apa yg
disampaikan oleh #'Guru' itu? Koq ane biasa aja ya, malah agak males
ngedengerin"
Kujawab
sederhana dengan kerutan di dahi dan sedikit gerakan bahu ke atas, sbg tanda
keengganan berkomentar ttg sosok #'Guru' itu
Pg
itu kebetulan sang #'Guru' memberi wejangan pd kami, tp jk jujur ingin menilai
bahwa audience sudah bosan &
jenuh, termasuk diri ini mendengar untaian kalimat yang keluar dari lisannya
Lalu
teman makan siang itu makin antusias mngomentarai mulai dr konten pmbicaraan sang
#'Guru' hingga tindak tanduk yg beliau ketahui ttgnya
Karena
mghormati, kudengarkan bincangannya sambil menikmati makan siang dibawah terik.
Soal #'Guru' dikupasnya satu per satu
Perhatianku
mulai penuh ketika ia mengucap kalimat "Sy jd ingat KH Rahmat
Abdullah", trengg... kudengar
satu per satu kalimat dr bibirnya
"Rid,
antum tahu ada beberapa tipe #'Guru' ?!" Tanya beliau serius. Kujawab
"menurut antum ada berapa Pak?". Dia bilang ada 3 (tiga)!
"Ada
#'Guru' yg pandai berkata tp tidak pandai beramal" kata beliau ini tipe
#'Guru' pertama
Yg
kedua "Ada #'Guru' yg pandai beramal tp tak pandai berkata-kata"
lanjut beliau makin serius
"Menurut
ente mana yg paling baik diantaranya?" Tanya beliau, kujawab "yg
bagus dua2nya pak! Pandai berkata & pandai beramal" sambil senyum
Dia
blg "betul! Tapi ada yang paling
baik lagi, yaitu ketika kita melihat wajahnya kita ingat pada Allah. &
itu sy rsakan pd alm KH. Rahmat Abdullah" #'Guru'
Obrolan
di atas sebetulnya adalah percakapan sederhana, tapi buat saya pribadi punya
makna yang “dalam”. Prosesi makan siang kala itu pun tidak hanya memberi asupan
untuk jasmani ini tapi juga nutrisi bagi hati. Mungkin tidak sedikit dari kita
yang pernah merasakan hal serupa, ketika mendengar nasihat dari seorang Guru
apapun sebutannya (Syaikh, KH, Ustadz, dan sejenisnya, kita merasa “hampa”.
Memang
ada dua sisi yang harus kita tinjau, baik dari sisi pribadi maupun sisi si
pembicara. Bisa saja nasihat itu tidak “terasa” lantaran hati kita yang sudah
mulai buram bahkan membatu, sehingga nasihat baik sulit untuk masuk. Karena hidayah
Allah itu adalah cahaya yang sulit masuk pada hati yang gelap.
Di
sisi lain mungkin saja memang si pembicara yang lisannya keluh. Sehingga ketika
beliau menyampaikan kebenaran, telinga dan hati kita menerima, akan tetapi mata
dan fikiran menolak karena bertentangannya antara apa yang keluar dari lisan
dan apa yang terlihat dalam keseharian hidupnya.
Bagaimanapun,
bukanlah perkara mudah untuk menyelaraskan antara ilmu dengan amal atau antara ucapan
dan perbuatan. Akan tetapi hal tersebut bukanlah hal yang mustahil, karena
jarak diantara keduanya dapat dijembatani dengan TEKAD.
Disitulah
letak dinamisasi hidup, kadang kita harus jatuh bangun untuk membimbing diri
sendiri. Apatah lagi untuk membimbing orang lain?. Akan tetapi saya teringat
nasihat seorang Ulama besar, yakni Hasan al Bashri yang intinya pernah berkata “Jika
seseorang yang memberi peringatan harus bersih dari segala dosa dan masksiat,
lalu siapakah saat ini manusia yang pantas memberi peringatan selain Rasulullah
SAW?”
Agaknya
kita mesti kembali berjuang untuk meng-ilmui
amal, pun meng-amali ilmu yang sudah
Allah berikan melalui perantara hamba-hambanya yang shalih.
Ilaahi anta maqshuudi,
laa takilni ‘ala an-nafsi
No comments:
Post a Comment