Thursday, May 30, 2013

“Obrolan di Suatu Siang: Mengilmui amal, Mengamalkan ilmu”


Disuatu siang kami berbincang hangat tentang tipologi #"Guru"
Teman makan kala siang itu bicara "Bro, nt "berasa" ga apa yg disampaikan oleh #'Guru' itu? Koq ane biasa aja ya, malah agak males ngedengerin"
Kujawab sederhana dengan kerutan di dahi dan sedikit gerakan bahu ke atas, sbg tanda keengganan berkomentar ttg sosok #'Guru' itu
Pg itu kebetulan sang #'Guru' memberi wejangan pd kami, tp jk jujur ingin menilai bahwa audience sudah bosan & jenuh, termasuk diri ini mendengar untaian kalimat yang keluar dari lisannya
Lalu teman makan siang itu makin antusias mngomentarai mulai dr konten pmbicaraan sang #'Guru' hingga tindak tanduk yg beliau ketahui ttgnya
Karena mghormati, kudengarkan bincangannya sambil menikmati makan siang dibawah terik. Soal #'Guru' dikupasnya satu per satu
Perhatianku mulai penuh ketika ia mengucap kalimat "Sy jd ingat KH Rahmat Abdullah", trengg... kudengar satu per satu kalimat dr bibirnya
"Rid, antum tahu ada beberapa tipe #'Guru' ?!" Tanya beliau serius. Kujawab "menurut antum ada berapa Pak?". Dia bilang ada 3 (tiga)!
"Ada #'Guru' yg pandai berkata tp tidak pandai beramal" kata beliau ini tipe #'Guru' pertama
Yg kedua "Ada #'Guru' yg pandai beramal tp tak pandai berkata-kata" lanjut beliau makin serius
"Menurut ente mana yg paling baik diantaranya?" Tanya beliau, kujawab "yg bagus dua2nya pak! Pandai berkata & pandai beramal" sambil senyum
Dia blg "betul! Tapi ada yang paling baik lagi, yaitu ketika kita melihat wajahnya kita ingat pada Allah. & itu sy rsakan pd alm KH. Rahmat Abdullah" #'Guru'

Obrolan di atas sebetulnya adalah percakapan sederhana, tapi buat saya pribadi punya makna yang “dalam”. Prosesi makan siang kala itu pun tidak hanya memberi asupan untuk jasmani ini tapi juga nutrisi bagi hati. Mungkin tidak sedikit dari kita yang pernah merasakan hal serupa, ketika mendengar nasihat dari seorang Guru apapun sebutannya (Syaikh, KH, Ustadz, dan sejenisnya, kita merasa “hampa”.

Memang ada dua sisi yang harus kita tinjau, baik dari sisi pribadi maupun sisi si pembicara. Bisa saja nasihat itu tidak “terasa” lantaran hati kita yang sudah mulai buram bahkan membatu, sehingga nasihat baik sulit untuk masuk. Karena hidayah Allah itu adalah cahaya yang sulit masuk pada hati yang gelap.

Di sisi lain mungkin saja memang si pembicara yang lisannya keluh. Sehingga ketika beliau menyampaikan kebenaran, telinga dan hati kita menerima, akan tetapi mata dan fikiran menolak karena bertentangannya antara apa yang keluar dari lisan dan apa yang terlihat dalam keseharian hidupnya.
Bagaimanapun, bukanlah perkara mudah untuk menyelaraskan antara ilmu dengan amal atau antara ucapan dan perbuatan. Akan tetapi hal tersebut bukanlah hal yang mustahil, karena jarak diantara keduanya dapat dijembatani dengan TEKAD.

Disitulah letak dinamisasi hidup, kadang kita harus jatuh bangun untuk membimbing diri sendiri. Apatah lagi untuk membimbing orang lain?. Akan tetapi saya teringat nasihat seorang Ulama besar, yakni Hasan al Bashri yang intinya pernah berkata “Jika seseorang yang memberi peringatan harus bersih dari segala dosa dan masksiat, lalu siapakah saat ini manusia yang pantas memberi peringatan selain Rasulullah SAW?”

Agaknya kita mesti kembali berjuang untuk meng-ilmui amal, pun meng-amali ilmu yang sudah Allah berikan melalui perantara hamba-hambanya yang shalih.


Ilaahi anta maqshuudi, laa takilni ‘ala an-nafsi

No comments:

Post a Comment