Wednesday, May 1, 2013

“Elektron” Yang Terserak



Potensi Yang Tak Terarah

Belum lama saya bertemu dengan salah seorang dosen Fisika Universitas ternama di negeri ini. Beliau berbicara mengenai magnet, beliau mengutip perkataan Avogadro bahwa di dalam 1 gr besi terdapat 10 pangkat 24 daya magnet. Saya tidak begitu mengerti jabaran dari teori itu yang jelas yang saya tangkap bahwa terdapat begitu besar daya magnetik dalam besi. Beliau sebuat bahwa setiap besi memiliki ribuan elektron. Setiap elektron yang jumlahnya ribuan tersebut berputar mengelilingi inti atom. Karena gerak setiap elektron yang mengelilingi inti atom tidak beraturan, maka resultannya menjadi 0 (nol). Suatu besi dapat menjadi magnet ketika elektron itu diarahkan dalam gerak tertentu dalam mengelilingi inti atom.

Jika kita memiliki magnet kemudian kita bakar dengan api, maka serta merta daya magnetiknya menghilang. Karena ada energi luar yang masuk mengintervensi resultan elektron yang membuyarkan gerak elektron. Ketika terjadi demagnetisasi (menghilangnya daya magnetik) yang perlu dilakukan adalah menggosokkan magnet tersebut dengan medan magnet lainnya. Artinya perlu ada energi lain untuk mengembalikan daya magnetik tersebut.

“Elektron” dalam Pengelolaan Dakwah dan Zakat

Analogi di atas mengenai magnet sangat cocok sekali jika diterapkan dalam dunia dakwah Islam dewasa ini. Para da’i/da’iyah adalah elektron yang memiliki energi bergerak. Namun yang disayangkan terkadang mereka bergerak bagai elektron dalam suatu besi yang tidak berarturan, tidak terkoordinir, bahkan saling berbenturan, sehingga menghasilkan resultan nol. Para dai yang bergerak dalam dakwah itu dari beragam organisasi atau jama’ah dakwah yang tidak terkonsolidasi gaya geraknya, sehingga hanya sedikit terasa atau bahkan tidak terasa dan berbekas sama sekali.

Seringkali organisasi atau jama’ah dakwah yang dianalogikan sebagai medan magnet mendapat infiltrasi atau intervensi dari pihak lain, yang kadang mendemoralisasi atau mengguncang mental psikologis sehingga membuat hilang daya geraknya, sebagaimana besi yang kehilangan daya magnetik karena terbakar. Untuk ini diperlukan energi dari luar untuk memberi rangsangan kembali agar daya magnet itu kembali pulih.

Adalah sebuah aksiomatik jika dalam organisasi atau jama’ah dakwah di kalangan kaum muslimin sulit untuk bergerak bersama, seringkali bergerak sendiri-sendiri, atau yang tidak diharapkan seperti saling berbenturan. Bahkan mungkin pernah terlintas dalam benak kita bahwa mungkin itu sunnatullah. Itu sebabnya Syaikh Yusuf Qardhawy[1] mengatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan oleh setiap jama’ah adalah taqoorub (pendekatan) bukan wahdatun (persatuan). Berikut pernyataan Syaikh Qardhawy:

“Saya berkeyakinan antar jamaah hanya bisa dilakukan upaya pendekatan (taqaarub) , saya mengatakan “Taqaarub” (pendekatan) dan bukan “Wahdatun” (persatuan), karena saya tidak dapat memungkiri banyaknya jumlah jamaah yang berperan aktif untuk Islam. Saya juga tidak terlalu menginginkan jamaah jamaah itu tergabung menjadi satu jamaah dibawah satu kepemimpinan. Sekalipun itu angan angan yang sangat indah, akan tetapi tanpa upaya mewujudkannya, sungguh suatu hal yang sangat sulit dan tidak mudah digapai, kecuali jika manusia berubah menjadi para malaikat”

Artinya meski mungkin sulit terjadi persatuan, maka setidaknya pendekatan diantara “elektron” itu harus tetap berjalan agar memiliki “resultan”.

Dalam hal pengelolaan zakat, hal serupa juga kita jumpai, dimana beragamnya lembaga zakat baik yang dibentuk oleh negera maupun masyarakat bergerak pada “garis edarnya” masing-masing. Setiap pengelola zakat memiliki rencana strategis dan fokus kerja yang sudah ditentukan sendiri. Maka tak wajar jika ada tumpang tindih, ada wilayah yang surplus pendistribusian zakatnya ada yang kurang atau sebaliknya.

Sebetulnya yang terjadi di negeri ini tidaklah seburuk yang kita duga, dalam bidang dakwah sudah ada puluhan bahkan ratusan organisasi yang mencoba menyatukan langkah dakwah dari beragam organisasi dan jama’ah. Begitu juga lembaga zakat, ada Forum Zakat, atau sekrang lebih jelas lagi pasca disahkannya Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat No. 23 Tahun 2011.

Dari sini kita faham bahwa yang dibutuhkan bukanlah unifikasi, akan tetapi sinergisasi, harmonisasi, dan jika memungkinkan integrasi yang terkoordinasi dengan jelas mengenai hak dan kewajiban serta wewenang. Karena bagaimanapun “elektron” itu memiliki daya gerak yang tak bisa dimatikan, ia akan terus bergerak, tugas kita adalah mengarahkan gerak tersebut agar selaras.

Disinilah dibutuhkan ke-rendah hati-an dalam bersikap, karena terkadang bagi mereka yang “tidak selaras” itu bukan karena mereka tidak mau selaras, akan tetapi karena mereka belum memahami efek dari keselarasannya yang akan menghasilkan “resultan” besar itu. Atau karena pendekatan yang kurang tepat, gaya bahasa dan gesture yang sedikit angkuh, sehingga mereka menolak atau belum mau bergabung dalam “orbit yang sama” bukan karena persoalan subtansi tapi lebih banyak karena soal karakter dalam bersikap. Itu sebabnya Nabi SAW ajarkan dakwah dengan mauizhoh al-hasanah, jikapun terpaksa berdebat (jidal) maka dilakukan dengan baik (ahsan).

Bagaimanapun saya masih berharap “elektron” dalam dakwah dan pengelolaan zakat itu dapat bergerak dalam orbit yang sama sehingga menghasilkan medan magnetik yang dasyat. Setidaknya dalam tulisan singkat ini saya mengajak siapapun untuk menjadi “elektron” yang senantiasa bergerak dalam “orbit yang sama” tentunya dalam kerangka semangat iltizam dan fastabiqul khairat. Wallahu 'alam

No comments:

Post a Comment