Potensi Yang Tak Terarah
Belum
lama saya bertemu dengan salah seorang dosen Fisika Universitas ternama di
negeri ini. Beliau berbicara mengenai magnet, beliau mengutip perkataan
Avogadro bahwa di dalam 1 gr besi terdapat 10 pangkat 24 daya magnet. Saya tidak
begitu mengerti jabaran dari teori itu yang jelas yang saya tangkap bahwa
terdapat begitu besar daya magnetik dalam besi. Beliau sebuat bahwa setiap besi
memiliki ribuan elektron. Setiap elektron yang jumlahnya ribuan tersebut
berputar mengelilingi inti atom. Karena gerak setiap elektron yang mengelilingi
inti atom tidak beraturan, maka resultannya menjadi 0 (nol). Suatu besi dapat
menjadi magnet ketika elektron itu diarahkan dalam gerak tertentu dalam
mengelilingi inti atom.
Jika
kita memiliki magnet kemudian kita bakar dengan api, maka serta merta daya
magnetiknya menghilang. Karena ada energi luar yang masuk mengintervensi
resultan elektron yang membuyarkan gerak elektron. Ketika terjadi demagnetisasi
(menghilangnya daya magnetik) yang perlu dilakukan adalah menggosokkan magnet
tersebut dengan medan magnet lainnya. Artinya perlu ada energi lain untuk
mengembalikan daya magnetik tersebut.
“Elektron” dalam Pengelolaan Dakwah
dan Zakat
Analogi
di atas mengenai magnet sangat cocok sekali jika diterapkan dalam dunia dakwah Islam
dewasa ini. Para da’i/da’iyah adalah elektron yang memiliki energi bergerak. Namun
yang disayangkan terkadang mereka bergerak bagai elektron dalam suatu besi yang
tidak berarturan, tidak terkoordinir, bahkan saling berbenturan, sehingga
menghasilkan resultan nol. Para dai yang bergerak dalam dakwah itu dari beragam
organisasi atau jama’ah dakwah yang tidak terkonsolidasi gaya geraknya, sehingga
hanya sedikit terasa atau bahkan tidak terasa dan berbekas sama sekali.
Seringkali
organisasi atau jama’ah dakwah yang dianalogikan sebagai medan magnet mendapat
infiltrasi atau intervensi dari pihak lain, yang kadang mendemoralisasi atau
mengguncang mental psikologis sehingga membuat hilang daya geraknya,
sebagaimana besi yang kehilangan daya magnetik karena terbakar. Untuk ini
diperlukan energi dari luar untuk memberi rangsangan kembali agar daya magnet
itu kembali pulih.
Adalah
sebuah aksiomatik jika dalam organisasi atau jama’ah dakwah di kalangan kaum
muslimin sulit untuk bergerak bersama, seringkali bergerak sendiri-sendiri,
atau yang tidak diharapkan seperti saling berbenturan. Bahkan mungkin pernah
terlintas dalam benak kita bahwa mungkin itu sunnatullah. Itu sebabnya Syaikh Yusuf Qardhawy[1]
mengatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan oleh setiap jama’ah adalah taqoorub (pendekatan) bukan wahdatun (persatuan). Berikut pernyataan
Syaikh Qardhawy:
“Saya
berkeyakinan antar jamaah hanya bisa dilakukan upaya pendekatan (taqaarub) ,
saya mengatakan “Taqaarub” (pendekatan) dan bukan “Wahdatun” (persatuan),
karena saya tidak dapat memungkiri banyaknya jumlah jamaah yang berperan aktif
untuk Islam. Saya juga tidak terlalu menginginkan jamaah jamaah itu tergabung
menjadi satu jamaah dibawah satu kepemimpinan. Sekalipun itu angan angan yang
sangat indah, akan tetapi tanpa upaya mewujudkannya, sungguh suatu hal yang
sangat sulit dan tidak mudah digapai, kecuali jika manusia berubah menjadi para
malaikat”
Artinya
meski mungkin sulit terjadi persatuan, maka setidaknya pendekatan diantara “elektron”
itu harus tetap berjalan agar memiliki “resultan”.
Dalam
hal pengelolaan zakat, hal serupa juga kita jumpai, dimana beragamnya lembaga
zakat baik yang dibentuk oleh negera maupun masyarakat bergerak pada “garis
edarnya” masing-masing. Setiap pengelola zakat memiliki rencana strategis dan
fokus kerja yang sudah ditentukan sendiri. Maka tak wajar jika ada tumpang
tindih, ada wilayah yang surplus pendistribusian zakatnya ada yang kurang atau
sebaliknya.
Sebetulnya
yang terjadi di negeri ini tidaklah seburuk yang kita duga, dalam bidang dakwah
sudah ada puluhan bahkan ratusan organisasi yang mencoba menyatukan langkah
dakwah dari beragam organisasi dan jama’ah. Begitu juga lembaga zakat, ada
Forum Zakat, atau sekrang lebih jelas lagi pasca disahkannya Undang-Undang
Tentang Pengelolaan Zakat No. 23 Tahun 2011.
Dari
sini kita faham bahwa yang dibutuhkan bukanlah unifikasi, akan tetapi
sinergisasi, harmonisasi, dan jika memungkinkan integrasi yang terkoordinasi
dengan jelas mengenai hak dan kewajiban serta wewenang. Karena bagaimanapun “elektron”
itu memiliki daya gerak yang tak bisa dimatikan, ia akan terus bergerak, tugas
kita adalah mengarahkan gerak tersebut agar selaras.
Disinilah
dibutuhkan ke-rendah hati-an dalam bersikap, karena terkadang bagi mereka yang “tidak
selaras” itu bukan karena mereka tidak mau selaras, akan tetapi karena mereka
belum memahami efek dari keselarasannya yang akan menghasilkan “resultan” besar
itu. Atau karena pendekatan yang kurang tepat, gaya bahasa dan gesture yang sedikit angkuh, sehingga
mereka menolak atau belum mau bergabung dalam “orbit yang sama” bukan karena
persoalan subtansi tapi lebih banyak karena soal karakter dalam bersikap. Itu sebabnya
Nabi SAW ajarkan dakwah dengan mauizhoh al-hasanah,
jikapun terpaksa berdebat (jidal)
maka dilakukan dengan baik (ahsan).
Bagaimanapun
saya masih berharap “elektron” dalam dakwah dan pengelolaan zakat itu dapat
bergerak dalam orbit yang sama sehingga menghasilkan medan magnetik yang
dasyat. Setidaknya dalam tulisan singkat ini saya mengajak siapapun untuk
menjadi “elektron” yang senantiasa bergerak dalam “orbit yang sama” tentunya
dalam kerangka semangat iltizam dan fastabiqul khairat. Wallahu 'alam
No comments:
Post a Comment