1 Mei dikenal
dengan Hari Buruh, dimana hampir seluruh buruh dari penjuru negeri ini
menyuarakan kepentingannya. Peringatan 1 Mei juga tak pernah luput dari aksi
demonstrasi di pusat-pusat kota. Beragam tuntutan disuarakan dalam setiap
aksinya yang intinya adalah pemenuhan hak buruh dan peningkatan kesejahteraan. Sebelumnya
berbicara lebih jauh, dalam tulisan sederhana ini saya mencoba memakai kata
“pekerja” sebagai ganti kata “buruh” karena rasanya kata itu lebih nyaman
buat saya pribadi untuk menyebutnya.
Namun suatu hal
yang unik atau tidak biasanya terjadi pada peringatan hari buruh tahun 2013
ini. Dimana ada sebahagian pekerja yang memperingati hari buruh dengan dzikir
bersama. Sebagaimana dilansir dalam situs resmi liputan6.com diberitakan bahwa sekitar 15.000 buruh yang tergabung
dalam SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) Bekasi mengadakan dzikir bersama
yang digagas oleh Forum Investor Bekasi. Dalam acara tersebut juga dihadiri
oleh Menteri Agama Suryadharma Ali dan Ust. Arifin Ilham. Jelas ini adalah
“sesuatu”.
Sementara itu
sebahagian besar pekerja juga melaksanakan aksi demonstrasi di pusat-pusat
kota. Demonstrasi adalah suatu aksi baik fisik ataupun non fisik untuk
mengungkap rasa atau unjuk rasa, yang dapat dilakukan dengan beragam cara. Goals akhir dari demo adalah
terpenuhinya segala tuntutan yang diinginkan oleh para pihak. Namun biasanya
berujung pada kompromi, sering juga tidak menghasilkan apapun kecuali ambience di media massa, terutama jika
demo itu berujung pada kericuhan.
Dzikir adalah
suatu bentuk ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Dalam hal ini kita tidak
membahas pro kontra mengenai hukum dzikir bersama yang dipersoalkan tentang bid’ah atau tidaknya dzikir bersama.
Yang kita bahas adalah dzikir bersama sebagai suatu bentuk aktivitas atau
respon yang diberikan atas suatu peristiwa yakni Hari Buruh.
Secara pribadi
saya berharap bahwa jangan sampai niat suci dzikir bersama hanya sebatas
“pengalihan isu” dan menutupi esensi Hari Buruh yang merupakan momentum tahunan
bagi para pekerja dan pengusaha untuk saling “mengungkap rasa”. Kenapa saya
sebut “saling” karena memang dalam setiap hubungan ada hak dan kewajiban yang
melekat, apalagi hubungan kerja yang didasarkan pada akad perjanjian yang sah.
Artinya baik pekerja dan pengusaha sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk
saling dipenuhi.
Sebelum lebih
jauh marilah kita simak beberapa hadits Nabi SAW menyoal tentang buruh.
Bagaimana Nabi SAW memperlakukan buruh. Rasul SAW bersabda: Berikanlah upah
kepada buruh sebelum keringatnya kering[1].
Pada banyak
kesempatan Nabi Muhammad saw memarahi sahabatnya yang berlaku kasar
kepada pembantunya. Misalnya dalam riwayat berikut ini; ”dari Abu Mas'ud RA dia
berkata : "aku pernah memukul pembantuku yang laki-laki, tiba-tiba aku
mendengar suara di belakangku : ”Ketahuilah hai Abu Mas'ud, sungguh Allah lebih
berkuasa atasmu daripada kamu atas pembantumu”, lalu aku segera menoleh,
ternyata ia adalah Rasulullah saw, maka aku berkata : ”Wahai Rasulullah saat
ini juga dia kumerdekakan karena Allah”. Lalu rasulullah menjawab : ”Jika hal
itu tidak engkau lakukan, sungguh api neraka itu akan mengenaimu atau api
neraka itu akan menghanguskanmu”.[2]
Nabi juga memerintahkan kepada
seorang majikan untuk memberikan makanan yang baik, makanan yang kualitasnya
sama dengan apa yang dimakan oleh majikan. Nabi Muhammad saw pernah bersabda:
”Berikanlah makanan kepada mereka dari makanan yang engkau makan dan berikanlah
pakaian yang engkau pakai”.[3]
Hadits ini sebenarnya dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa kedudukan
majikan dan buruh dalam Islam adalah seimbang (equal), bukan sebagai
atasan atau bawahan. Semangat tersebut dapat digunakan sebagai dasar penentuan
upah melalui mekanisme bipartide maupun tripartide, yaitu antara buruh, majikan
dan pemerintah.
Adanya dzikir bersama yang dilakukan
oleh penguasaha dan pekerjaan merupakan satu hal yang harus diapresiasi. Semoga
dzikir tersebut mengingatkan seluruh pihak terkait untuk saling memenuhi hak
dan kewajiban. Karena sejatinya tidak hanya hubungan dengan Allah SWT (hablun mina Allah) sajalah yang harus
ditunaikan, melainkan hubungan kita dengan manusia atau selain-Nya (hablun mina an-nas wal ‘alam) juga harus
kita realisasikan. Mudah-mudahan dzikir bersama itu juga bermakna “dzikir” bagi
pekerja untuk amanah dan memiliki etos dalam bekerja, juga “dzikir” bagi
pengusaha untuk memperlakukan pekerjanya secara bermartabat.
[1] Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn
Majah dari Ibnu Umar ra.Maknanya bukan berarti majikan harus memberikan upah
kepada buruh atau pegawainya pada saat keringatnya masih mengalir. Akan tetapi,
maksudnya adalah hendaknya ia segera memberikan upah mereka tanpa menunda-nunda
waktu pembayaran yang sudah disepakati, apalagi sampai tidak membayarkannya. Dalam
hadis yang sahih disebutkan bahwa Allah Swt befirman, "Tiga orang yang
Kumusuhi di hari kiamat...Di antaranya orang yang mempekerjakan seorang buruh
di mana buruh itu menunaikan tugasnya namun upahnya tidak dibayarkan."
Dari sini kita mengetahui betapa syariat islam sangat memerhatikan hak-hak
buruk secara utuh; tanpa boleh dikurangi. Wallahu a'lam bish-shawab. http://www.syariahonline.com/v2/ekonomi-islam-a-muamalat/2651-upah-buruh.html
[2] Perspektif Islam terhadap Hak
Buruh Oleh : Eko Riyadi Staf PUSHAM UII http://pusham.uii.ac.id/index.php?page=caping&id=38
HR. Muslim, kitab Al-Iman, Hadits No. 34-35
[3] HR. Muslim, kitab Az-Zuhdi
wa Raqa'iq, Hadits No.74.
No comments:
Post a Comment