Pagi
ini ada kajian menarik yang disampaikan dalam “forum sharing” di kantor. Seorang
kawan yang saya sering panggil sebagai “Syaikh
Bathin” mengisi kajian mengenai “Out of
the Box”. Secara pribadi saya tidak menduga beliau akan memaparkan materi
itu dengan sangat menarik.
Cara
membuat pedang tetap tajam adalah dengan mengasahnya secara teratur, begitu
juga akal fikiran, menjaganya agar tidak tumpul adalah dengan mengajaknya
berfikir secara jernih. Hal ini adalah bagian dari amal atas ilmu dan perintah
Allah SWT yang sering kita baca dan dengar “Afalaa
ta’qiluun”, -tidakkah kamu berfikir?.
Presentasi
materi dimulai dengan mengajukan pertanyaan sederhana kepada audience “SAPI dibalik IPAS, UBI dibalik
IBU, SUSU dibalik?” Sebagian menjawab “USUS!” mayoritas menjawab “Tumpah!”. Kemudian
kawan saya melanjutkan mengupas “out of the box (OOB)” dalam lingkup pertanyaan
“5 W+1 H”.
Intisari
dari materi tersebut adalah bahwa berfikir OOB sangat diperlukan, akan tetapi ada resiko yang harus ditanggung. Seringkali orang yang OOB dianggap
aneh, nyeleneh, keluar dari pakem,
bahkan bisa saja dilabel “sesat” dalam titik tertentu ketika bersinggungan dalam
ranah ideologis. Perlu juga untuk diperhatikan adalah bahwa OOB bukan
sekedar asal “beda”.
Setelah
presentasi di tutup, ada beberapa audience
yang memberi tanggapan, masukan, atau pertanyaan, alhasil diskusi cukup
menarik.
Pada
mulanya saya tidak mau berbicara, sebab dua hari yang lalu saya mendapat
inspirasi dari salah seorang guru untuk belajar lebih banyak mendengar dari pada
berbicara. Utamanya ketika seorang menjadi pemimpin yang harus mendengar
curahan hati yang dipimpinnya. Akan tetapi forum pagi itu lain, forum sharing
di kantor mirip dengan “darun nadwah” dimana disitulah tempat seluruh kaum
Quraisy dari berbagai klan berkumpul untuk membicarakan sesuatu dan mencari
solusinya. Di forum Darun Nadwah ada para tetua pimpinan Klan seperti Abul
Hakam (Abu Jahal), Umayyah bin Khalaf, sedangkan dari golongan muda juga ada
yang diwakili oleh Umar bin Khaththab (Bani Adiy), dimana mereka mencurahkan tenaga
dan fikiran untuk memperoleh kebaikan bersama.
Berkaca
pada kondisi di atas, maka saya biarkan materi yang disampaikan masuk dalam
telinga kemudian mengolah dan mengujinya dengan informasi yang saya miliki. Kadang
saya sepakat dengan pendapat yang masuk itu, kadang juga tidak, begitulah suatu
tesa pemikiran berbenturan dengan
pemikiran lainnya (anti tesa) lalu
muncul sintesa baru yang tak jarang
adalah perpaduan dari tesa-anti tesa itu.
“Terimakasih
atas materi yang disampaikan, sangat menarik. Buat saya mengenai “out of the
box” adalah terkait dengan komparasi (bandingan/perbandingan). Suatu dianggap
OOB karena yang lainnya terperangkap beku dalam “box” itu”, terangku sebagai
muqoddimah argumentasi.
Kemudian
kulanjut “sebagai contoh begini, kuda yang belang (misal kuda zebra), akan
terlihat putih jika ia berada dalam kawanan kuda yang hitam. Sebaliknya kuda
yang belang akan terlihat belang jika bersama kawanan kuda putih”
Perumpamaan
atau pengibaratan ini sebetulnya adalah permisalan yang membedakan antara
mukmin, munafiqin, dan kafirin. Kuda puti itulah si mukmin, kuda belang itulah
si munafiqin, sedan di kuda hitam itu adalah kafirin.
Menyambung
pernyataanku kuteruskan “begitu pula hari ini, mungkin saja orang-orang yang
dianggap shalih hari ini, diberi julukan ulama, ustadz, Kiyai, atau semisalnya,
jika dibandingkan dengan para Sahabat Nabi r.anhum adalah orang yang biasa saja.
Sebagimana juga ada seorang teman yang selalu mendapat peringkat 1 di
sekolahnya, kemudian pindah ke sekolah unggulan dimana muridnya lebih cerdas,
maka praktis peringkatnya akan turun”
“Maksud
saya begini, bahwa kita dianggap OOB tidak harus karena kita mengeluarkan sesuatu
yang benar-benar baru. Bahwa ketika kita berfikir atau beramal sesuai dengan
yang seharusnya, dimana sekeliling kita telah “menyimpang”, maka kita sudah
dianggap OOB”
Untuk
menguatkan saya berikan contoh “Ketika gereja mempercayai bahwa bumi sebagai
pusat tata surya (geo-centris), maka ada ilmuwan seperti Galileo Galilei yang
berfikir dan mengadakan peneyelidikan bahwa yang sebetulnya adalah matahari
sebagai pusat tata surya (helio-centris). Pada saat itulah ia dianggap aneh,
nyeleneh, melanggar pakem, padahal itulah kebenaran dan ia dianggap telah OOB”
Contoh
lain adalah ketika Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam, maka sebenarnya Beliau
tidak mendakwahkan suatu hal yang benar-benar baru, sebab masyarakat jahiliyah
kala itu juga mengetahui bahwa begitulah inti dakwah para Nabi dan Rasul, hanya
saja karena masyarakat itu telah memiliki nilai, norma, dan tradisi yang
membudaya hasil rekaan mereka sendiri, maka jadilah suatu yang dibawa oleh
rasul sekan-akan hal yang baru. Mereka (elite Quraisy) membenci Muhammad bukan
karena pribadi dan akhlaqnya, karena semua mereka mengakui kemuliaan Muhammad
yang sangat sesuai dengan moralitas terbaik orang Arab. Akan tetapi ajaran Muhammad itulah yang
dikhawatirkan akan meruntuhkan “tradisi” dan “status quo” mereka itu.
Contoh
lain yang dapat kita saksikan dewasa ini adalah fenomena Jokowi di Jakarta. Beliau
dirasa dan dipersepsikan sebagai orang yang sangat OOB dalam merintah jakarta
dalam hal blusukan dan “dekat dengan
rakyat”. Padahal sebetulnya hal itu biasa saja dan merupakan standar minimal
seorang pemimpin. Beliau terlihat “baru” dan “wow” karena dibandingkan dengan
sebelumnya. Dalam hal kepemimpinan, beliau sedang mencoba untuk menuju dan
mengisi “kotak” yang sebenarnya.
Artinya
bahwa berfikir OOB sagat tergantung pada pembandingnya. Karena banyak contoh dimana
sesuatu itu sebetulnya “masih dalam kotak” namun karena pembandingnya
terkungkung dalam ruang kecil dalam kotak itu, maka ia dianggap telah “keluar
dari kotak”. Dari sini kita dapat melihat nilai relatif dari OOB itu.
Mengakhiri
komentar saya atas presentasi pagi ini saya ucapkan “Terima kasih Pak, yang
telah menstimulus saya untuk berfikir, astahgfirullahal
‘azhim. Assalamu’alaikum.”
No comments:
Post a Comment