Thursday, May 16, 2013

Kerelatifan “Out of The Box”



Pagi ini ada kajian menarik yang disampaikan dalam “forum sharing” di kantor. Seorang kawan yang saya sering panggil sebagai “Syaikh Bathin” mengisi kajian mengenai “Out of the Box”. Secara pribadi saya tidak menduga beliau akan memaparkan materi itu dengan sangat menarik.

Cara membuat pedang tetap tajam adalah dengan mengasahnya secara teratur, begitu juga akal fikiran, menjaganya agar tidak tumpul adalah dengan mengajaknya berfikir secara jernih. Hal ini adalah bagian dari amal atas ilmu dan perintah Allah SWT yang sering kita baca dan dengar “Afalaa ta’qiluun”, -tidakkah kamu berfikir?.

Presentasi materi dimulai dengan mengajukan pertanyaan sederhana kepada audience “SAPI dibalik IPAS, UBI dibalik IBU, SUSU dibalik?” Sebagian menjawab “USUS!” mayoritas menjawab “Tumpah!”. Kemudian kawan saya melanjutkan mengupas “out of the box (OOB)” dalam lingkup pertanyaan “5 W+1 H”.

Intisari dari materi tersebut adalah bahwa berfikir OOB sangat diperlukan, akan tetapi ada resiko yang harus ditanggung. Seringkali orang yang OOB dianggap aneh, nyeleneh, keluar dari pakem, bahkan bisa saja dilabel “sesat” dalam titik tertentu ketika bersinggungan dalam ranah ideologis. Perlu juga untuk diperhatikan adalah bahwa OOB bukan sekedar asal “beda”.

Setelah presentasi di tutup, ada beberapa audience yang memberi tanggapan, masukan, atau pertanyaan, alhasil diskusi cukup menarik.

Pada mulanya saya tidak mau berbicara, sebab dua hari yang lalu saya mendapat inspirasi dari salah seorang guru untuk belajar lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Utamanya ketika seorang menjadi pemimpin yang harus mendengar curahan hati yang dipimpinnya. Akan tetapi forum pagi itu lain, forum sharing di kantor mirip dengan “darun nadwah” dimana disitulah tempat seluruh kaum Quraisy dari berbagai klan berkumpul untuk membicarakan sesuatu dan mencari solusinya. Di forum Darun Nadwah ada para tetua pimpinan Klan seperti Abul Hakam (Abu Jahal), Umayyah bin Khalaf, sedangkan dari golongan muda juga ada yang diwakili oleh Umar bin Khaththab (Bani Adiy), dimana mereka mencurahkan tenaga dan fikiran untuk memperoleh kebaikan bersama.

Berkaca pada kondisi di atas, maka saya biarkan materi yang disampaikan masuk dalam telinga kemudian mengolah dan mengujinya dengan informasi yang saya miliki. Kadang saya sepakat dengan pendapat yang masuk itu, kadang juga tidak, begitulah suatu tesa pemikiran berbenturan dengan pemikiran lainnya (anti tesa) lalu muncul sintesa baru yang tak jarang adalah perpaduan dari tesa-anti tesa itu.

“Terimakasih atas materi yang disampaikan, sangat menarik. Buat saya mengenai “out of the box” adalah terkait dengan komparasi (bandingan/perbandingan). Suatu dianggap OOB karena yang lainnya terperangkap beku dalam “box” itu”, terangku sebagai muqoddimah argumentasi.

Kemudian kulanjut “sebagai contoh begini, kuda yang belang (misal kuda zebra), akan terlihat putih jika ia berada dalam kawanan kuda yang hitam. Sebaliknya kuda yang belang akan terlihat belang jika bersama kawanan kuda putih”

Perumpamaan atau pengibaratan ini sebetulnya adalah permisalan yang membedakan antara mukmin, munafiqin, dan kafirin. Kuda puti itulah si mukmin, kuda belang itulah si munafiqin, sedan di kuda hitam itu adalah kafirin.

Menyambung pernyataanku kuteruskan “begitu pula hari ini, mungkin saja orang-orang yang dianggap shalih hari ini, diberi julukan ulama, ustadz, Kiyai, atau semisalnya, jika dibandingkan dengan para Sahabat Nabi r.anhum adalah orang yang biasa saja. Sebagimana juga ada seorang teman yang selalu mendapat peringkat 1 di sekolahnya, kemudian pindah ke sekolah unggulan dimana muridnya lebih cerdas, maka praktis peringkatnya akan turun”

“Maksud saya begini, bahwa kita dianggap OOB tidak harus karena kita mengeluarkan sesuatu yang benar-benar baru. Bahwa ketika kita berfikir atau beramal sesuai dengan yang seharusnya, dimana sekeliling kita telah “menyimpang”, maka kita sudah dianggap OOB”

Untuk menguatkan saya berikan contoh “Ketika gereja mempercayai bahwa bumi sebagai pusat tata surya (geo-centris), maka ada ilmuwan seperti Galileo Galilei yang berfikir dan mengadakan peneyelidikan bahwa yang sebetulnya adalah matahari sebagai pusat tata surya (helio-centris). Pada saat itulah ia dianggap aneh, nyeleneh, melanggar pakem, padahal itulah kebenaran dan ia dianggap telah OOB”

Contoh lain adalah ketika Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam, maka sebenarnya Beliau tidak mendakwahkan suatu hal yang benar-benar baru, sebab masyarakat jahiliyah kala itu juga mengetahui bahwa begitulah inti dakwah para Nabi dan Rasul, hanya saja karena masyarakat itu telah memiliki nilai, norma, dan tradisi yang membudaya hasil rekaan mereka sendiri, maka jadilah suatu yang dibawa oleh rasul sekan-akan hal yang baru. Mereka (elite Quraisy) membenci Muhammad bukan karena pribadi dan akhlaqnya, karena semua mereka mengakui kemuliaan Muhammad yang sangat sesuai dengan moralitas terbaik orang Arab.  Akan tetapi ajaran Muhammad itulah yang dikhawatirkan akan meruntuhkan “tradisi” dan “status quo” mereka itu.

Contoh lain yang dapat kita saksikan dewasa ini adalah fenomena Jokowi di Jakarta. Beliau dirasa dan dipersepsikan sebagai orang yang sangat OOB dalam merintah jakarta dalam hal blusukan dan “dekat dengan rakyat”. Padahal sebetulnya hal itu biasa saja dan merupakan standar minimal seorang pemimpin. Beliau terlihat “baru” dan “wow” karena dibandingkan dengan sebelumnya. Dalam hal kepemimpinan, beliau sedang mencoba untuk menuju dan mengisi “kotak” yang sebenarnya.

Artinya bahwa berfikir OOB sagat tergantung pada pembandingnya. Karena banyak contoh dimana sesuatu itu sebetulnya “masih dalam kotak” namun karena pembandingnya terkungkung dalam ruang kecil dalam kotak itu, maka ia dianggap telah “keluar dari kotak”. Dari sini kita dapat melihat nilai relatif dari OOB itu.

Mengakhiri komentar saya atas presentasi pagi ini saya ucapkan “Terima kasih Pak, yang telah menstimulus saya untuk berfikir, astahgfirullahal ‘azhim. Assalamu’alaikum.”

No comments:

Post a Comment