Thursday, May 30, 2013

“Obrolan di Suatu Siang: Mengilmui amal, Mengamalkan ilmu”


Disuatu siang kami berbincang hangat tentang tipologi #"Guru"
Teman makan kala siang itu bicara "Bro, nt "berasa" ga apa yg disampaikan oleh #'Guru' itu? Koq ane biasa aja ya, malah agak males ngedengerin"
Kujawab sederhana dengan kerutan di dahi dan sedikit gerakan bahu ke atas, sbg tanda keengganan berkomentar ttg sosok #'Guru' itu
Pg itu kebetulan sang #'Guru' memberi wejangan pd kami, tp jk jujur ingin menilai bahwa audience sudah bosan & jenuh, termasuk diri ini mendengar untaian kalimat yang keluar dari lisannya
Lalu teman makan siang itu makin antusias mngomentarai mulai dr konten pmbicaraan sang #'Guru' hingga tindak tanduk yg beliau ketahui ttgnya
Karena mghormati, kudengarkan bincangannya sambil menikmati makan siang dibawah terik. Soal #'Guru' dikupasnya satu per satu
Perhatianku mulai penuh ketika ia mengucap kalimat "Sy jd ingat KH Rahmat Abdullah", trengg... kudengar satu per satu kalimat dr bibirnya
"Rid, antum tahu ada beberapa tipe #'Guru' ?!" Tanya beliau serius. Kujawab "menurut antum ada berapa Pak?". Dia bilang ada 3 (tiga)!
"Ada #'Guru' yg pandai berkata tp tidak pandai beramal" kata beliau ini tipe #'Guru' pertama
Yg kedua "Ada #'Guru' yg pandai beramal tp tak pandai berkata-kata" lanjut beliau makin serius
"Menurut ente mana yg paling baik diantaranya?" Tanya beliau, kujawab "yg bagus dua2nya pak! Pandai berkata & pandai beramal" sambil senyum
Dia blg "betul! Tapi ada yang paling baik lagi, yaitu ketika kita melihat wajahnya kita ingat pada Allah. & itu sy rsakan pd alm KH. Rahmat Abdullah" #'Guru'

Obrolan di atas sebetulnya adalah percakapan sederhana, tapi buat saya pribadi punya makna yang “dalam”. Prosesi makan siang kala itu pun tidak hanya memberi asupan untuk jasmani ini tapi juga nutrisi bagi hati. Mungkin tidak sedikit dari kita yang pernah merasakan hal serupa, ketika mendengar nasihat dari seorang Guru apapun sebutannya (Syaikh, KH, Ustadz, dan sejenisnya, kita merasa “hampa”.

Memang ada dua sisi yang harus kita tinjau, baik dari sisi pribadi maupun sisi si pembicara. Bisa saja nasihat itu tidak “terasa” lantaran hati kita yang sudah mulai buram bahkan membatu, sehingga nasihat baik sulit untuk masuk. Karena hidayah Allah itu adalah cahaya yang sulit masuk pada hati yang gelap.

Di sisi lain mungkin saja memang si pembicara yang lisannya keluh. Sehingga ketika beliau menyampaikan kebenaran, telinga dan hati kita menerima, akan tetapi mata dan fikiran menolak karena bertentangannya antara apa yang keluar dari lisan dan apa yang terlihat dalam keseharian hidupnya.
Bagaimanapun, bukanlah perkara mudah untuk menyelaraskan antara ilmu dengan amal atau antara ucapan dan perbuatan. Akan tetapi hal tersebut bukanlah hal yang mustahil, karena jarak diantara keduanya dapat dijembatani dengan TEKAD.

Disitulah letak dinamisasi hidup, kadang kita harus jatuh bangun untuk membimbing diri sendiri. Apatah lagi untuk membimbing orang lain?. Akan tetapi saya teringat nasihat seorang Ulama besar, yakni Hasan al Bashri yang intinya pernah berkata “Jika seseorang yang memberi peringatan harus bersih dari segala dosa dan masksiat, lalu siapakah saat ini manusia yang pantas memberi peringatan selain Rasulullah SAW?”

Agaknya kita mesti kembali berjuang untuk meng-ilmui amal, pun meng-amali ilmu yang sudah Allah berikan melalui perantara hamba-hambanya yang shalih.


Ilaahi anta maqshuudi, laa takilni ‘ala an-nafsi

Thursday, May 16, 2013

Kerelatifan “Out of The Box”



Pagi ini ada kajian menarik yang disampaikan dalam “forum sharing” di kantor. Seorang kawan yang saya sering panggil sebagai “Syaikh Bathin” mengisi kajian mengenai “Out of the Box”. Secara pribadi saya tidak menduga beliau akan memaparkan materi itu dengan sangat menarik.

Cara membuat pedang tetap tajam adalah dengan mengasahnya secara teratur, begitu juga akal fikiran, menjaganya agar tidak tumpul adalah dengan mengajaknya berfikir secara jernih. Hal ini adalah bagian dari amal atas ilmu dan perintah Allah SWT yang sering kita baca dan dengar “Afalaa ta’qiluun”, -tidakkah kamu berfikir?.

Presentasi materi dimulai dengan mengajukan pertanyaan sederhana kepada audience “SAPI dibalik IPAS, UBI dibalik IBU, SUSU dibalik?” Sebagian menjawab “USUS!” mayoritas menjawab “Tumpah!”. Kemudian kawan saya melanjutkan mengupas “out of the box (OOB)” dalam lingkup pertanyaan “5 W+1 H”.

Intisari dari materi tersebut adalah bahwa berfikir OOB sangat diperlukan, akan tetapi ada resiko yang harus ditanggung. Seringkali orang yang OOB dianggap aneh, nyeleneh, keluar dari pakem, bahkan bisa saja dilabel “sesat” dalam titik tertentu ketika bersinggungan dalam ranah ideologis. Perlu juga untuk diperhatikan adalah bahwa OOB bukan sekedar asal “beda”.

Setelah presentasi di tutup, ada beberapa audience yang memberi tanggapan, masukan, atau pertanyaan, alhasil diskusi cukup menarik.

Pada mulanya saya tidak mau berbicara, sebab dua hari yang lalu saya mendapat inspirasi dari salah seorang guru untuk belajar lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Utamanya ketika seorang menjadi pemimpin yang harus mendengar curahan hati yang dipimpinnya. Akan tetapi forum pagi itu lain, forum sharing di kantor mirip dengan “darun nadwah” dimana disitulah tempat seluruh kaum Quraisy dari berbagai klan berkumpul untuk membicarakan sesuatu dan mencari solusinya. Di forum Darun Nadwah ada para tetua pimpinan Klan seperti Abul Hakam (Abu Jahal), Umayyah bin Khalaf, sedangkan dari golongan muda juga ada yang diwakili oleh Umar bin Khaththab (Bani Adiy), dimana mereka mencurahkan tenaga dan fikiran untuk memperoleh kebaikan bersama.

Berkaca pada kondisi di atas, maka saya biarkan materi yang disampaikan masuk dalam telinga kemudian mengolah dan mengujinya dengan informasi yang saya miliki. Kadang saya sepakat dengan pendapat yang masuk itu, kadang juga tidak, begitulah suatu tesa pemikiran berbenturan dengan pemikiran lainnya (anti tesa) lalu muncul sintesa baru yang tak jarang adalah perpaduan dari tesa-anti tesa itu.

“Terimakasih atas materi yang disampaikan, sangat menarik. Buat saya mengenai “out of the box” adalah terkait dengan komparasi (bandingan/perbandingan). Suatu dianggap OOB karena yang lainnya terperangkap beku dalam “box” itu”, terangku sebagai muqoddimah argumentasi.

Kemudian kulanjut “sebagai contoh begini, kuda yang belang (misal kuda zebra), akan terlihat putih jika ia berada dalam kawanan kuda yang hitam. Sebaliknya kuda yang belang akan terlihat belang jika bersama kawanan kuda putih”

Perumpamaan atau pengibaratan ini sebetulnya adalah permisalan yang membedakan antara mukmin, munafiqin, dan kafirin. Kuda puti itulah si mukmin, kuda belang itulah si munafiqin, sedan di kuda hitam itu adalah kafirin.

Menyambung pernyataanku kuteruskan “begitu pula hari ini, mungkin saja orang-orang yang dianggap shalih hari ini, diberi julukan ulama, ustadz, Kiyai, atau semisalnya, jika dibandingkan dengan para Sahabat Nabi r.anhum adalah orang yang biasa saja. Sebagimana juga ada seorang teman yang selalu mendapat peringkat 1 di sekolahnya, kemudian pindah ke sekolah unggulan dimana muridnya lebih cerdas, maka praktis peringkatnya akan turun”

“Maksud saya begini, bahwa kita dianggap OOB tidak harus karena kita mengeluarkan sesuatu yang benar-benar baru. Bahwa ketika kita berfikir atau beramal sesuai dengan yang seharusnya, dimana sekeliling kita telah “menyimpang”, maka kita sudah dianggap OOB”

Untuk menguatkan saya berikan contoh “Ketika gereja mempercayai bahwa bumi sebagai pusat tata surya (geo-centris), maka ada ilmuwan seperti Galileo Galilei yang berfikir dan mengadakan peneyelidikan bahwa yang sebetulnya adalah matahari sebagai pusat tata surya (helio-centris). Pada saat itulah ia dianggap aneh, nyeleneh, melanggar pakem, padahal itulah kebenaran dan ia dianggap telah OOB”

Contoh lain adalah ketika Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam, maka sebenarnya Beliau tidak mendakwahkan suatu hal yang benar-benar baru, sebab masyarakat jahiliyah kala itu juga mengetahui bahwa begitulah inti dakwah para Nabi dan Rasul, hanya saja karena masyarakat itu telah memiliki nilai, norma, dan tradisi yang membudaya hasil rekaan mereka sendiri, maka jadilah suatu yang dibawa oleh rasul sekan-akan hal yang baru. Mereka (elite Quraisy) membenci Muhammad bukan karena pribadi dan akhlaqnya, karena semua mereka mengakui kemuliaan Muhammad yang sangat sesuai dengan moralitas terbaik orang Arab.  Akan tetapi ajaran Muhammad itulah yang dikhawatirkan akan meruntuhkan “tradisi” dan “status quo” mereka itu.

Contoh lain yang dapat kita saksikan dewasa ini adalah fenomena Jokowi di Jakarta. Beliau dirasa dan dipersepsikan sebagai orang yang sangat OOB dalam merintah jakarta dalam hal blusukan dan “dekat dengan rakyat”. Padahal sebetulnya hal itu biasa saja dan merupakan standar minimal seorang pemimpin. Beliau terlihat “baru” dan “wow” karena dibandingkan dengan sebelumnya. Dalam hal kepemimpinan, beliau sedang mencoba untuk menuju dan mengisi “kotak” yang sebenarnya.

Artinya bahwa berfikir OOB sagat tergantung pada pembandingnya. Karena banyak contoh dimana sesuatu itu sebetulnya “masih dalam kotak” namun karena pembandingnya terkungkung dalam ruang kecil dalam kotak itu, maka ia dianggap telah “keluar dari kotak”. Dari sini kita dapat melihat nilai relatif dari OOB itu.

Mengakhiri komentar saya atas presentasi pagi ini saya ucapkan “Terima kasih Pak, yang telah menstimulus saya untuk berfikir, astahgfirullahal ‘azhim. Assalamu’alaikum.”

Thursday, May 2, 2013

Meninjau Kembali Keberagaman Keberagamaan Kita*




“Salam dan Doa” Kita

Hari ini sesak nafas kita melihat pemberitaan media massa mengenai Islam. Ada benar pribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Segelintir orang yang mengaku muslim dan membela Islam justru melakukan perbuatan yang tidak Islami bahkan anti Islam. Kemudian Islam dilekatkan pada apa yang disebut sebagai kekerasan, terorisme, anti-HAM, dan stigma lainnya yang senada dengan hal tersebut. Sehingga Islam dipersepsikan sebagai agama yang tidak beradab (uncivilized religion). Patut juga kita perhatikan potongan syair lagu “too many people wear a title of the muslim but they dont practice Islam” (Anon). Bahwa begitu banyak orang yang mengenakan “baju” Islam, tapi mereka tidak mempraktekkan ajaran Islam.

Persepsi demikian tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Tidak sepenuhnya salah karena mereka yang melakukan tindak kekerasan dengan label Islam juga terprovokasi ketidakadilan (unjustice) dan ketidakmerataan (unequality) baik secara ekonomi maupun politik di tingkat global. Tidak sepenuhnya benar karena bagaimanapun tindak kekerasan tidak dibenarkan, jikapun boleh dilakukan dalam perang yang sah dalam bingkai Hukum Humaniter.

Dalam sejarah dapat kita saksikan bahwa perselisihan tidak hanya terjadi antar agama, tapi juga di internal agama itu sendiri yang tak jarang menjatuhkan korban jiwa. Menarik apa yang disampaikan oleh Jusuf Kalla dalam International Conference on Islam, Civilization, and Peace di Jakarta 23-24 April 2013 yang memulai presentasi makalahnya yang berjudul Islam and Peaceful Justness dengan kalimat pertanyaan yang menggelitik “Berapa kali umat Islam mengucapakan Assalamu’alaikum setiap harinya? Berapa kali umat Kristen mengucapkan Shalom? Begitu juga ummat Hindu mengucapkan Om Swastiastu? Atau umat beragama lainnya dengan kalimat yang maknanya senada?”. Kemudian Jusuf Kalla mengatakan bahwa mungkin puluhan bahkan ratusan kali kalimat “salam dan doa” itu diucapkan oleh masing-masing pemeluk agama. Akan tetapi pertanyaannya adalah mengapa tindak kekerasan, pembunuhan, dan konflik dapat kita saksikan setiap harinya? Yang kita tangkap adalah bahwa terdapat gap yang memisahkan antara apa yang kita katakan dengan yang kita lakukan atau antara ilmu dengan amal. Entah disebabkan karena kita tidak memahami esensi dari kalimat “salam” itu atau memang kita pura-pura tidak tahu bahkan tak acuh.

Di Balik Layar Konflik

Jika ditelisik lebih jauh bahwa konflik horizontal yang terjadi khususnya di Indonesia bukanlah disebabkan atau dilatarbelakangi oleh konflik agama. Jusuf Kalla mengatakan bahwa 10 dari 15 konflik besar (menelan korban 500-1000 jiwa) di Indonesia, disebabkan karena persoalan ekonomi dan politik. Hanya saja agama seringkali dijadikan alat untuk memperbesar dan memperluas konflik. Hal ini dapat kita fahami karena agama pada sifatnya memiliki tingkat solidaritas yang tinggi diantara penganutnya. Yang patut disayangkan adalah ketika ada fihak-fihak tertentu yang justru memperkeruh masalah. Ketika para pelaku yang terlibat “konflik agama” ditanya “apa alasan yang melatari mereka saling bunuh?”, mereka menjawab “karena membela agama dan ingin masuk surga”. Meminjam istilah Jusuf Kalla “bahwa ada yang menjual surga dengan murah”. Peran pemuka agama sangat dibutuhkan untuk membantu penyelesaian konflik yang terjadi secara lebih jernih.

Dalam interaksinya dengan agama dan peradaban lain, Islam sudah memiliki prinsip-prinsip yang telah ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bahwa persaudaraan yang diajarkan oleh Islam tidak hanya berlaku pada sesama muslim (Ukhuwah Islamiyah), tapi juga persaudaraan kepada manusia secara umum (Ukhuwah Basyariyah). Hanya saja ada hak dan kewajiban yang harus dihormati pada tingkatannya masing-masing.

Prof. Dr. Ahmed Yahya al Kindy dalam paper-nya yang berjudul Prophet Perception on Living Harmoniously Between Muslim and Non Muslim menyebutkan beberapa kisah dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan toleransi, harmonisasi, dan upaya untuk hidup berdampingan dengan umat agama dan peradaban lain. Munculnya Piagam Madinah merupakan suatu contoh riil dimana di dalamnya terdapat aturan interaksi muslim dengan muslim juga dengan selainnya (Nashroni, Yahudi, Majusi, Musyrikin). Juga perjanjian antara Nabi dengan Uskup Abul Harits pemimpin kristen Najran yang memperbolehkan tetap berdirinya rumah ibadah dan dapat hidup berdampingan dengan Islam selama-lamanya. Nabi juga membiarkan hidup orang-orang munafik di sekelilingnya, padahal Nabi pasti tahu siapa mereka bahkan dalam Al Quran Juz 28-pun tertera surat Al Munafiqiin.  

Contoh di atas bukan berarti Nabi berlemah lembut dengan kaum kafir, akan tetapi menjadi suri tauladan bagi umat kemudian tentang bagaimana kita bertindak ketika Islam memimpin peradaban. Jika kita melihat sejarah dengan jujur, maka dapat kita saksikan bahwa merekalah yang seringkali mengkhianati perjanjian. Bahkan di abad modern ini dapat kita saksikan bagaimana Israel berulangkali melanggar kesepakatan damai yang mereka buat sendiri. Memang begitulah sifat mereka yang panjang lebar dijelaskan oleh Allah dalam surat Al Baqoroh. Mereka berjanji kepada Allah SWT dan Nabi Musa as dengan sumpah yang kokoh (mitsaqan ghalizah) akan tetapi mereka mengingkarinya setelah perjanjian itu (tsumma tawallaitum min ba’di dzalik).

Jika hari ini konflik agama masih terus berlangsung, perlu kita lihat lebih jernih titik pangkalnya. Ketidakadilan, ketidakmerataan, diskriminasi, monopoli, kolonialisasi, imprealisasi dan sejenisnya, baik fisik maupun secara ekonomi dan politis terus terjadi melanda umat Islam di belahan dunia. Bagaimana di abad modern ini masih kita saksikan penjajahan “model kuno” berupa anektasi lahan terjadi di Palestina, Iraq, dsb. Belum lagi soal kejahatan ekonomi politik sebagaimana yang dapat kita baca dalam buku Confessions of an Economic Hit Man yang ditulis John Perkins (dipublikasikan tahun 2004).

Artinya bahwa aksi yang diberikan oleh negara-negara barat, namun disayangkan ada sekelompok orang Islam yang bereaksi atau meresponnya dengan tindak kekerasan. Oleh karena itu ada benarnya ketika Prof Nassarudin Umar mengatakan bahwa terorisme adalah anak kandung globalisasi. Dengan kata lain bahwa konflik yang terjadi selama ini tidaklah disebabkan oleh satu faktor saja atau satu alasan saja, melainkan ada banyak faktor yang menyebabkan atau memperluas skala konflik.

Dialog Peradaban: Antara Iman dan Amal Kita

Berkaca pada kondisi yang demikian, maka adalah bijak bagi setiap umat beragama untuk melakukan dialog peradaban (interfaith dialogue/ dialogue of civilization) bukan benturan peradaban (clash of civilization) yang diwacanakan oleh Samuel Hantington itu. Komunikasi yang utuh diperlukan sebagai sarana untuk saling mengenal lebih dalam dan benar dalam memahami. Dalam Islam hal ini jelas diperintahkan untuk saling mengenal sebagaimana termaktub dalam Al Quran:  “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat:13)

Dalam hubungan antar agama menarik juga kita perhatikan kembali ayat Al Quran surat Al Baqoroh: 62[1] “Sesungguhnya orang-orang mu'min[2], orang-orang Yahudi[3], orang-orang Nasrani[4] dan orang-orang Shabiin[5], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Mengomentari ayat ini Hamka Allahu yarham dalam Magnum Opus-nya Tafsir Al Azhar Juz I (Pustaka Panjimas) mengatakan:

 “Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk sekalian agama dalam dunia ini. Janganlah hanya semata-mata mengaku Islam, Yahudi atau Nasrani atau Shabi'in, pengakuan yang hanya di lidah dan karena keturunan. Lalu marah kepada orang kalau dituduh kafir, padahal Iman kepada Allah dan Hari Akhirat tidak dipupuk, dan amal shalih yang berfaedah tidak dikerjakan”

Berbeda dengan kalangan liberal yang menyitir ayat ini sebagai dalil pluralisme agama yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, Hamka justru mengatakan bahwa ayat ini membawa pesan damai diantara pemeluk agama. Sebuah dalil yang mengisyaratkan harmonisasi kerukunan hidup umat beragama. Ayat ini menekankan bahwa iman tak cukup sekedar dikatakan tapi juga dibuktikan dengan amal shalih yang nyata. Ketika seseorang menyatakan dirinya sebagai Yahudi maka imanilah Musa as dan Kitab Tauratnya lalu beramal sesuai dengan tuntunannya. Ketika seseorang menyatakan diri sebagai Nashroni maka imanilah Isa as dan Kitab Injilnya. Maka hendaklah setiap orang yang mengaku beriman untuk membuktikan keimanannya dengan beramal shalih.

Selanjutnya Hamka mengatakan:

“Apabila orang telah berkumpul dalam suasana iman, dengan sendirinya sengketa akan hilang dan kebenaran akan dapat dicapai. Yang menimbulkan cemas dan takut di dalam dunia ini ialah apabila pengakuan hanya dalam mulut, aku mukmin, aku Yahudi, aku Nasrani, aku Shabi'in, tetapi tidak pernah diamalkan. Maka terjadilah perkelahian karena agama telah menjadi golongan, bukan lagi dakwah kebenaran. Yang betul hanya aku saja, orang lain salah belaka. Orang tadinya mengharap agama akan membawa ketentraman bagi jiwa, namun kenyataannya hanyalah membawa onar dan peperangan, kerena masing-masing pemeluk agama itu tidak ada yang beramal dengan amalan yang baik, hanya amal mau menang sendiri.”

Dari sini kita memahami bahwa munculnya perselisihan, persengketaan, bahkan peperangan bukan karena agama itu sendiri, melainkan pemeluk agama tersebut. Menjadikan iman hanya sebatas perkara pengakuan. Orang seperti yang demikian sebetulnya “tidak mengetahui dalam iman” dan “mengimani ketidaktahuan”. Hamka juga mengatakan bahwa ketika ada seorang yang mengaku beriman kepada Allah SWT tapi tidak menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Atau dengan kata lain imannya hanya sebatas pada lisan belaka, maka pada hakikatnya iman orang itu sama seperti Yahudi, Nashroni, dan Shabi’in.

“Mengapa orang yang beriman diisyaratkan beriman lagi? Setengah ahli tafsir mengatakan, bahwa yang dimaksud di sini barulah iman pengakuan saja. Misalnya mereka telah mengucapkan Dua Kalimat Syahadat, mereka telah mengaku dengan mulut, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Tetapi pangakuan itu baru pengakuan saja, belum diikuti oleh amalan, belum mengerjakan Rukun Islam yang lima perkara. Maka iman mereka itu masih sama saja dengan iman Yahudi, nasrani dan Shabi'in. Apatah lagi orang Islam peta bumi saja atau Islam turunan. Maka Islam yang semacam itu masih sama saja dengan Yahudi, Nasrani dan Shabi'in.”

Dalam sejarah kita ketahui bahwa ada beberapa orang Yahudi yang kembali kepada Islam seperti Abdullah bin Salam. Begitu pula dari kalangan Nasrani seperti Tamim ad-Dari, Adi bin Hatim atau Kaisar Habsyi (Negus). Juga Salman al Farisi yang berpindah dari agama Majusi, lalu memeluk Nasrani dan kemudian menyatakan iman kepada Allah dan Hari Akhirat dan mengikutinya dengan amal shalih. Maka semua orang-orang yang telah menyatakan iman dan mengikuti dengan bukti ini, hilanglah dari mereka rasa takut, cemas dan duka­cita. Inilah makna dari ayat tersebut yang berujung pada iman kepada Allah dan mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al Asy'ari, bahwa Nabi bersabda:

"Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari umat sekarang ini. Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka." (HR. Muslim)

Hadits ini memperkuat bahwa yang dimaksud oleh ayat 62 surat al Baqoroh bukanlah mengenai pluralisme agama, melainkan kewajiban seluruh pemeluk agama untuk beriman pada Allah SWT dan bagian dari keimanan itu adalah mempercayai dan mengikuti syariat Muhammad Rasulullah SAW. Karena pada hakikatnya Kitab-Kitab Suci, Nabi dan Rasul membawa syariat yang sama yakni mendakwahkan keesaan Allah SWT (Tauhidullah)

Melihat perkembangan kerukunan keberagamaan kita hari ini, juga berkaca pada tafsir Hamka atas surat al Baqoroh 62 membuat kita memahami bahwa sebagai mukmin kita justru harus mengajak setiap orang yang mengaku dirinya beragama, apapun agama mereka, untuk mendalami imannya itu dan mengerjakan amal shalih. Ketika Ahlul Kitab mendalami isi Taurat dan Injil yang sebenarnya justu mereka akan kembali pada Allah, yakni menyambut seruan Al Quran pada kalimatun sawa, yaitu menyembah pada Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun (Tauhid). Perlu rasanya kembali kita deklarasikan “keimanan yang jujur” dan “jujur dalam beriman” hingga tercipta susunan masyarakat yang harmoni dalam keberagaman keberagamaan kita. Wallahu ‘alam bish showab

 *Oleh-oleh ketika menjadi delegasi BAZNAS bersama Dr. Irfan Syauqi Beik dalam International Conference on Islam, Civilization, and Islam 23-24 April 2013.



[1] Diturunkan berkenaan dengan teman-teman salman Al-Farisi. Ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nabi Saw., lalu ia menyebutkan perihal teman-teman seagamanya di masa lalu, Ia menceritakan, “Mereka shalat, puasa, dan beriman kepadamu serta bersaksi bahwa kelak engkau akan diutus sebagai nabi.” Setelah Salman selesai bicaranya yang mengandung pujiannya kepada mereka, maka Nabi Saw. Bersabda kepadanya, “Hai Salman, mereka termasuk ahli neraka.” Maka ini terasa amat berat bagi Salman. Lalu Allah menurunkan ayat ini.
[2] yang disebut orang-orang yang telah beriman, ialah orang-orang yang telah terlebih dahulu menyatakan percaya kepada segala ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w yaitu mereka-mereka yang telah berjuang karena imannya, berdiri rapat di sekelilling Rasul s. a.w sama-sama menegakkan ajaran agama seketika beliau hidup. Di dalam ayat ini mereka dimasukkan dalam kedudukan yang pertama dan utama.
[3] ialah orang-orang yang jadi Yahudi, atau pemeluk agama Yahudi. Sebagaimana kita ketahui, nama Yahudi itu dibangsakan atau diambil dari nama Yahuda, yaitu anak tertua atau anak tertua dari Nabi Ya'qub a. s. . Oleh sebab itu merekapun disebut juga Bani Israil. Dengan jalan demikian, maka nama agama Yahudi lebih merupakan agama "keluarga" daripada agama untuk manusia pada umumnya.
[4] yaitu Nashara, dan lebih banyak lagi disebut Nasrani. Dibangsakan kepada desa tempat Nabi Isa al-Masih dilahirkan, yaitu Desa Nazaret (dalam bahasa Ibrani) atau Nashirah (dalam bahasa Arab). Menurut riwayat Ibnu Jarir, Qatadah berpendapat bahwa Nasrani itu memang diambil dari nama Desa Nashirah.
Ibnu Abbas pun menafsirkan demikian
[5] menurut asal arti kata maknanya, ialah orang yang keluar dari agamanya yang asal, dan masuk ke dalam agama lain, sama juga dengan arti asalnya ialah murtad. Sebab itu ketika Nabi Muhammad mencela-cela agama nenek-moyangnya yang menyembah berhala , lalu menegakkan paham Tauhid, oleh orang Quraisy , Nabi Muhammad s.a.w itu dituduh telah shabi' dari agama nenek-moyangnya.  Menurut riwayat ahli-ahli tafsir, golongan Shabi'in itu memanglah satu golongan dari orang-orang yang pada mulanya memeluk agama Nasrani, lalu mendirikan agama sendiri. Menurut penyelidikan, mereka masih berpegang teguh pada cinta-kasih ajaran al-Masih, tetapi disamping merekapun mulai menyembah Malaikat. Kata setengah orang pula, mereka percaya akan pengaruh bintang­ bintang. Ini menunjukan pula bahwa agama menyembah bintang­ bintang pusaka Yunani mempengaruhi pula perkembangan Shabi'in ini.  Di jaman sekarang penganut Shabi'in masih terdapat sisa-sisanya di negeri Irak. Mereka menjadi warga negara yang baik dalam Republik Irak.

Wednesday, May 1, 2013

“Elektron” Yang Terserak



Potensi Yang Tak Terarah

Belum lama saya bertemu dengan salah seorang dosen Fisika Universitas ternama di negeri ini. Beliau berbicara mengenai magnet, beliau mengutip perkataan Avogadro bahwa di dalam 1 gr besi terdapat 10 pangkat 24 daya magnet. Saya tidak begitu mengerti jabaran dari teori itu yang jelas yang saya tangkap bahwa terdapat begitu besar daya magnetik dalam besi. Beliau sebuat bahwa setiap besi memiliki ribuan elektron. Setiap elektron yang jumlahnya ribuan tersebut berputar mengelilingi inti atom. Karena gerak setiap elektron yang mengelilingi inti atom tidak beraturan, maka resultannya menjadi 0 (nol). Suatu besi dapat menjadi magnet ketika elektron itu diarahkan dalam gerak tertentu dalam mengelilingi inti atom.

Jika kita memiliki magnet kemudian kita bakar dengan api, maka serta merta daya magnetiknya menghilang. Karena ada energi luar yang masuk mengintervensi resultan elektron yang membuyarkan gerak elektron. Ketika terjadi demagnetisasi (menghilangnya daya magnetik) yang perlu dilakukan adalah menggosokkan magnet tersebut dengan medan magnet lainnya. Artinya perlu ada energi lain untuk mengembalikan daya magnetik tersebut.

“Elektron” dalam Pengelolaan Dakwah dan Zakat

Analogi di atas mengenai magnet sangat cocok sekali jika diterapkan dalam dunia dakwah Islam dewasa ini. Para da’i/da’iyah adalah elektron yang memiliki energi bergerak. Namun yang disayangkan terkadang mereka bergerak bagai elektron dalam suatu besi yang tidak berarturan, tidak terkoordinir, bahkan saling berbenturan, sehingga menghasilkan resultan nol. Para dai yang bergerak dalam dakwah itu dari beragam organisasi atau jama’ah dakwah yang tidak terkonsolidasi gaya geraknya, sehingga hanya sedikit terasa atau bahkan tidak terasa dan berbekas sama sekali.

Seringkali organisasi atau jama’ah dakwah yang dianalogikan sebagai medan magnet mendapat infiltrasi atau intervensi dari pihak lain, yang kadang mendemoralisasi atau mengguncang mental psikologis sehingga membuat hilang daya geraknya, sebagaimana besi yang kehilangan daya magnetik karena terbakar. Untuk ini diperlukan energi dari luar untuk memberi rangsangan kembali agar daya magnet itu kembali pulih.

Adalah sebuah aksiomatik jika dalam organisasi atau jama’ah dakwah di kalangan kaum muslimin sulit untuk bergerak bersama, seringkali bergerak sendiri-sendiri, atau yang tidak diharapkan seperti saling berbenturan. Bahkan mungkin pernah terlintas dalam benak kita bahwa mungkin itu sunnatullah. Itu sebabnya Syaikh Yusuf Qardhawy[1] mengatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan oleh setiap jama’ah adalah taqoorub (pendekatan) bukan wahdatun (persatuan). Berikut pernyataan Syaikh Qardhawy:

“Saya berkeyakinan antar jamaah hanya bisa dilakukan upaya pendekatan (taqaarub) , saya mengatakan “Taqaarub” (pendekatan) dan bukan “Wahdatun” (persatuan), karena saya tidak dapat memungkiri banyaknya jumlah jamaah yang berperan aktif untuk Islam. Saya juga tidak terlalu menginginkan jamaah jamaah itu tergabung menjadi satu jamaah dibawah satu kepemimpinan. Sekalipun itu angan angan yang sangat indah, akan tetapi tanpa upaya mewujudkannya, sungguh suatu hal yang sangat sulit dan tidak mudah digapai, kecuali jika manusia berubah menjadi para malaikat”

Artinya meski mungkin sulit terjadi persatuan, maka setidaknya pendekatan diantara “elektron” itu harus tetap berjalan agar memiliki “resultan”.

Dalam hal pengelolaan zakat, hal serupa juga kita jumpai, dimana beragamnya lembaga zakat baik yang dibentuk oleh negera maupun masyarakat bergerak pada “garis edarnya” masing-masing. Setiap pengelola zakat memiliki rencana strategis dan fokus kerja yang sudah ditentukan sendiri. Maka tak wajar jika ada tumpang tindih, ada wilayah yang surplus pendistribusian zakatnya ada yang kurang atau sebaliknya.

Sebetulnya yang terjadi di negeri ini tidaklah seburuk yang kita duga, dalam bidang dakwah sudah ada puluhan bahkan ratusan organisasi yang mencoba menyatukan langkah dakwah dari beragam organisasi dan jama’ah. Begitu juga lembaga zakat, ada Forum Zakat, atau sekrang lebih jelas lagi pasca disahkannya Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat No. 23 Tahun 2011.

Dari sini kita faham bahwa yang dibutuhkan bukanlah unifikasi, akan tetapi sinergisasi, harmonisasi, dan jika memungkinkan integrasi yang terkoordinasi dengan jelas mengenai hak dan kewajiban serta wewenang. Karena bagaimanapun “elektron” itu memiliki daya gerak yang tak bisa dimatikan, ia akan terus bergerak, tugas kita adalah mengarahkan gerak tersebut agar selaras.

Disinilah dibutuhkan ke-rendah hati-an dalam bersikap, karena terkadang bagi mereka yang “tidak selaras” itu bukan karena mereka tidak mau selaras, akan tetapi karena mereka belum memahami efek dari keselarasannya yang akan menghasilkan “resultan” besar itu. Atau karena pendekatan yang kurang tepat, gaya bahasa dan gesture yang sedikit angkuh, sehingga mereka menolak atau belum mau bergabung dalam “orbit yang sama” bukan karena persoalan subtansi tapi lebih banyak karena soal karakter dalam bersikap. Itu sebabnya Nabi SAW ajarkan dakwah dengan mauizhoh al-hasanah, jikapun terpaksa berdebat (jidal) maka dilakukan dengan baik (ahsan).

Bagaimanapun saya masih berharap “elektron” dalam dakwah dan pengelolaan zakat itu dapat bergerak dalam orbit yang sama sehingga menghasilkan medan magnetik yang dasyat. Setidaknya dalam tulisan singkat ini saya mengajak siapapun untuk menjadi “elektron” yang senantiasa bergerak dalam “orbit yang sama” tentunya dalam kerangka semangat iltizam dan fastabiqul khairat. Wallahu 'alam

“Dzikir”nya Para Buruh dan Pengusaha



1 Mei dikenal dengan Hari Buruh, dimana hampir seluruh buruh dari penjuru negeri ini menyuarakan kepentingannya. Peringatan 1 Mei juga tak pernah luput dari aksi demonstrasi di pusat-pusat kota. Beragam tuntutan disuarakan dalam setiap aksinya yang intinya adalah pemenuhan hak buruh dan peningkatan kesejahteraan. Sebelumnya berbicara lebih jauh, dalam tulisan sederhana ini saya mencoba memakai kata “pekerja” sebagai ganti kata “buruh” karena rasanya kata itu lebih nyaman buat saya pribadi untuk menyebutnya.

Namun suatu hal yang unik atau tidak biasanya terjadi pada peringatan hari buruh tahun 2013 ini. Dimana ada sebahagian pekerja yang memperingati hari buruh dengan dzikir bersama. Sebagaimana dilansir dalam situs resmi liputan6.com diberitakan bahwa sekitar 15.000 buruh yang tergabung dalam SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) Bekasi mengadakan dzikir bersama yang digagas oleh Forum Investor Bekasi. Dalam acara tersebut juga dihadiri oleh Menteri Agama Suryadharma Ali dan Ust. Arifin Ilham. Jelas ini adalah “sesuatu”.

Sementara itu sebahagian besar pekerja juga melaksanakan aksi demonstrasi di pusat-pusat kota. Demonstrasi adalah suatu aksi baik fisik ataupun non fisik untuk mengungkap rasa atau unjuk rasa, yang dapat dilakukan dengan beragam cara. Goals akhir dari demo adalah terpenuhinya segala tuntutan yang diinginkan oleh para pihak. Namun biasanya berujung pada kompromi, sering juga tidak menghasilkan apapun kecuali ambience di media massa, terutama jika demo itu berujung pada kericuhan.

Dzikir adalah suatu bentuk ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Dalam hal ini kita tidak membahas pro kontra mengenai hukum dzikir bersama yang dipersoalkan tentang bid’ah atau tidaknya dzikir bersama. Yang kita bahas adalah dzikir bersama sebagai suatu bentuk aktivitas atau respon yang diberikan atas suatu peristiwa yakni Hari Buruh.

Secara pribadi saya berharap bahwa jangan sampai niat suci dzikir bersama hanya sebatas “pengalihan isu” dan menutupi esensi Hari Buruh yang merupakan momentum tahunan bagi para pekerja dan pengusaha untuk saling “mengungkap rasa”. Kenapa saya sebut “saling” karena memang dalam setiap hubungan ada hak dan kewajiban yang melekat, apalagi hubungan kerja yang didasarkan pada akad perjanjian yang sah. Artinya baik pekerja dan pengusaha sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk saling dipenuhi.

Sebelum lebih jauh marilah kita simak beberapa hadits Nabi SAW menyoal tentang buruh. Bagaimana Nabi SAW memperlakukan buruh. Rasul SAW bersabda: Berikanlah upah kepada buruh sebelum keringatnya kering[1]. Pada banyak kesempatan  Nabi Muhammad saw memarahi sahabatnya yang berlaku kasar kepada pembantunya. Misalnya dalam riwayat berikut ini; ”dari Abu Mas'ud RA dia berkata : "aku pernah memukul pembantuku yang laki-laki, tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku : ”Ketahuilah hai Abu Mas'ud, sungguh Allah lebih berkuasa atasmu daripada kamu atas pembantumu”, lalu aku segera menoleh, ternyata ia adalah Rasulullah saw, maka aku berkata : ”Wahai Rasulullah saat ini juga dia kumerdekakan karena Allah”. Lalu rasulullah menjawab : ”Jika hal itu tidak engkau lakukan, sungguh api neraka itu akan mengenaimu atau api neraka itu akan menghanguskanmu”.[2]

Nabi juga memerintahkan kepada seorang majikan untuk memberikan makanan yang baik, makanan yang kualitasnya sama dengan apa yang dimakan oleh majikan. Nabi Muhammad saw pernah bersabda: ”Berikanlah makanan kepada mereka dari makanan yang engkau makan dan berikanlah pakaian yang engkau pakai”.[3] Hadits ini sebenarnya dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa kedudukan majikan dan buruh dalam Islam adalah seimbang (equal), bukan sebagai atasan atau bawahan. Semangat tersebut dapat digunakan sebagai dasar penentuan upah melalui mekanisme bipartide maupun tripartide, yaitu antara buruh, majikan dan pemerintah.

Adanya dzikir bersama yang dilakukan oleh penguasaha dan pekerjaan merupakan satu hal yang harus diapresiasi. Semoga dzikir tersebut mengingatkan seluruh pihak terkait untuk saling memenuhi hak dan kewajiban. Karena sejatinya tidak hanya hubungan dengan Allah SWT (hablun mina Allah) sajalah yang harus ditunaikan, melainkan hubungan kita dengan manusia atau selain-Nya (hablun mina an-nas wal ‘alam) juga harus kita realisasikan. Mudah-mudahan dzikir bersama itu juga bermakna “dzikir” bagi pekerja untuk amanah dan memiliki etos dalam bekerja, juga “dzikir” bagi pengusaha untuk memperlakukan pekerjanya secara bermartabat.



[1] Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Ibnu Umar ra.Maknanya bukan berarti majikan harus memberikan upah kepada buruh atau pegawainya pada saat keringatnya masih mengalir. Akan tetapi, maksudnya adalah hendaknya ia segera memberikan upah mereka tanpa menunda-nunda waktu pembayaran yang sudah disepakati, apalagi sampai tidak membayarkannya. Dalam hadis yang sahih disebutkan bahwa Allah Swt befirman, "Tiga orang yang Kumusuhi di hari kiamat...Di antaranya orang yang mempekerjakan seorang buruh di mana buruh itu menunaikan tugasnya namun upahnya tidak dibayarkan." Dari sini kita mengetahui betapa syariat islam sangat memerhatikan hak-hak buruk secara utuh; tanpa boleh dikurangi. Wallahu a'lam bish-shawab. http://www.syariahonline.com/v2/ekonomi-islam-a-muamalat/2651-upah-buruh.html
[2] Perspektif Islam terhadap Hak Buruh Oleh : Eko Riyadi Staf PUSHAM UII http://pusham.uii.ac.id/index.php?page=caping&id=38 HR. Muslim, kitab Al-Iman, Hadits No. 34-35
[3] HR. Muslim, kitab Az-Zuhdi wa Raqa'iq, Hadits No.74.