Pagi
ini seorang sahabat sharing mengenai
soal pentingnya olahraga dan rekreasi. Sekilas nampak ringan, namun pokok bahasan
menjadi menarik dengan bantuan audio visual yang menampilkan beberapa video
dari situs youtube. Obrolan itulah
yang kemudian men-triger saya menulis
risalah singkat ini.
Adalah
kewajiban setiap muslim untuk menggunakan akal dan hatinya -dengan bantuan perantara pancaindera- untuk berfikir dan merasa. Maka berfikir, merenung, bahkan
membangun dialektika yang logis –baik kepada diri sendiri maupun orang lain- inherent bahkan inti dari maksud ujung
beberapa ayat Quran yang berbunyi “afalaa ta’qiluun?” (tidakkah kamu berfikir?).
Memang
menjadi suatu kebiasaan bagi diri ini untuk melatih berfikir, maka setiap
informasi tidak akan masuk begitu saja dengan mudah. Melainkan ia masuk melalui
telinga dan mata, yang diuji pokok pikiran logisnya di dalam kepala, kemudian
di akhiri dengan meminta fatwa pada hati nurani. Yang terakhir ini tak kalah
lebih penting dari pada proses kedua, bahkan ia menjadi penentu utama suatu
informasi atau apapun yang masuk ke dalam kepala untuk diterima, diyakini, dan disebarluaskan.
Dalam hal ini hati nurani menjadi panglima, akal jernih menjadi komandan, dan
panca indera menjadi prajuritnya. Itu sebab disebut iman tempatnya di hati,
ilmu tempatnya di kepala, dan amal adanya pada anggota tubuh.
Sahabat
saya itu memaparkan mengenai definisi teoritis dan tahapan praksis mengenai
olahraga beserta turunannya. Begitu juga mengenai bagaimana mengolah dan
melatih tentang berfikir. Ia sebut “jangan sampai badan kita sehat dengan
olahraga, bugar, tapi ciut mengecil dan tidak sehat dalam fikiran”. Dalam hal
ini beliau sesungguhnya telah membahas mengenai dua hal: Olah Raga dan Olah
Fikir. Akan tetapi mungkin ada yang perlu diperdalam, yakni menyoal “Olah Rasa”.
Mengapa
Olah Rasa itu menjadi penting? Rasa atau perasaan itu tempatnya di hati. Jika kita
telusuri karya klasik Imam Ghazali seperti Ihya’
‘ulumuddin atau ringkasannya tazkiyah
an-nafs karangan Syaikh Said Hawa menunjukkan perhatian lebih para ulama salaf dan khalaf pada soal hati dan rasa. Maka merasai rasa menjadi perlu dan prioritas dalam dunia yang
kian penat dan penuh tipu daya ini. Kiranya dibutuhkan oleh setiap insan yang ingin mengarungi bahtera kehidupan yang luas ini untuk pernah mengecap bangku "sekolah rasa".
Ada
baiknya di penutup tulisan singkat ini saya kutip hadits dari Abu Abdillah
Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat
perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang
banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan
agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka
akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang
menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk
memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap
raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.
Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka
baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh;
ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
No comments:
Post a Comment