Hamka,
dalam bukunya “Pandangan Hidup Muslim” (Pustaka Dini, 2010:82) mengatakan bahwa
Perasaan adalah garam hidup. Dengan perasaan manusia merenung, mencari
ketenangan dalam pergolakan. Menampak bahagia dalam sengsara. Menampak
jernihnya masa depan dalam keruhnya yang sekarang. Imbangan nada tinggi
melengking dengan nada rendah mengendur, itulah dia musik dari kehidupan. Ia
disebut bahagia oleh orang Indonesia,
as-sa’adah dalam bahasa Arab, happiness
kata orang Barat. Nampaknya kata inilah yang sering dicari manusia dengan
segenap akal dan hatinya bahkan mungkin juga binatang dengan instingnya dalam kehidupan.
Suatu perasaan nyaman dan hamparan kelegaan dalam jiwa dan fikiran.
Siapapun
manusia, dimanapun ia tinggal, kapanpun mereka hidup, jika ditelisik, kata
itulah yang coba diraihnya kemudian diberinya kepada orang-orang yang mereka
sayangi. Namun sayang banyak diantara mereka yang berusaha merumuskan bahagia
dan mencari formula untuk mendapatkannya, tapi berujung pada kesengsaraan bukan
kebahagiaan. Biasanya mereka itulah yang terlena kemudian terjerembab dalam
perangkap jebakan kebahagiaan semu duniawiah.
Prof
Zakiah Daradjat[1]
dalam bukunya yang berjudul “Kebahagiaan” halaman 9 menyebutkan bahwa bahagia
dan kebahagiaan adalah yang dituju oleh setiap manusia dan ukuran bahagia
sangat relatif karena setiap orang mempunyai batasan yang berbeda-beda.
“Sejak
zaman dahulu kala, barangkali sejak dunia terkembang, sejak manusia ada di muka
bumi ini, bahagia atau kebahagiaan itu selalu di dambakan atau dicari oleh
setiap insan, sampai sekarang ini di zaman kemajuan yang telah meningkat, sebagaimana
yang telah kita rasakan bersama, kebahagiaan itu masih tetap dicari. Rupanya
terlalu sulit untuk mendapatkannya....Tiap orang mungkin mempunyai batasan
sendiri, sehingga sukar menentukannya secara pasti”
Teringatku
saat ijtima’i di Markas Jama’ah
Tabligh Indonesia ketika seorang Syaikh dari Pakistan yang ku tak tahu siapa
namanya memberi bayan nasihat tentang
agama. Ia berbicara dengan bahasa urdu yang diartikan oleh seorang penerjemah
kalimat demi kalimat. Terkenang ia memaparkan soal bahagia dan kebahagiaan yang
sejati.
Syaikh
itu berkata bahwa setiap insan di muka bumi pasti mencari yang namanya bahagia
dan kebahagiaan. Sebagian mereka mengira bahwa kebahagiaan itu berasal dari harta
kekayaan, karenanya ia cari berbagai macam cara untuk mendapatkan kekayaan tak
lagi peduli soal halal dan haram. Sebagian lagi mengatakan bahwa kebahagiaan
itu berasal dari pangkat kedudukan dan jabatan, lalu mereka berlomba-lomba
untuk mendapatkannya dengan beragam cara pula. Pandangan itu muncul lantaran mereka
terfokus melihat zhohir dan mengabaikan sisi bathin. Terbiasa melihat sisi luar
dan permukaan.
Kemudian
Syaikh itu melanjut mengkritisi pemahaman dua golongan manusia tadi. Yang
pertama menisbatkan bahagia pada harta, dan yang lainnya pada pangkat kedudukan
dan jabatan. Tidakkah kita ingat bahwa Allah itu Maha Adil (al ‘Adl)? Jika Allah memiliki asma’ dan
sifat Al ‘Adl maka tidak mungkin ia
berbuat sebaliknya, yakni zholim.
Dengan intonasi meninggi Syaikh itu berkata “Maka tidak mungkin bagi Allah meletakkan
bahagia dan kebahagaiaan pada harta kekayaan atau pangkat kedudukan dan
jabatan. Kenapa? Karena tidak semua orang memiliki harta dan jabatan. Jika
Allah meletakkan kebahagiaan dalam harta dan kedudukan, maka Allah tidak adil
terhadap si miskin nan papa. Bagaimana mungkin mereka bisa merasakan
kebahagiaan padahal mereka tidak memiliki apa-apa? Dan ini tidaklah mungkin,
mustahil bagi Allah.”
Sebelum
ditanya, Syaikh tersebut kembali meneruskan bayan
nasihatnya “lalu dimana Allah letakkan bahagia dan kebahagiaan itu?” hadirin
terdiam dan makin serius menyimak bayan
dengan tawajjuh, ia lanjut “Allah
letakkan bahagia dan kebahagiaan itu dalam pengilmuan dan pengamalan agama.
Bahagia Allah letakkan dalam pengilmuan dan pengamalan Al Quran dan Sunnah
sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan generasi terbaik ummat ini, yakni
generasi Rasulullah SAW, para Sahabat r.anhum
ajma’in dan para pengikutnya (tabi’in dan tabiut tabi’in)”
Dengan
penuh ghiroh Syaikh mengatakan bahwa
“siapapun Anda, darimana pun Anda berasal, kapanpun Anda hidup, Anda akan
mendapatkan kebahagiaan yang tak semu, kebahagiaan yang hakiki hanya dengan
mengikuti Allah dan Rasulnya.” Sontak hadirin yang hadir mengucapkan “Masya
Allah...” “Subahanallah...”. kemudian Syaikh mengingatkan muslimin Indonesia
“Ingatlah bahwa kejayaan, kemuliaan dan kebahagiaan hanya dapat kita raih
dengan mengikuti petunjuk baginda Muhammad SAW”.
Kekayaan
manusia bukanlah ukuran gedung dan mobilnya. Nilai umur dan nilai hidup
ditentukan oleh halus-kasarnya perasaan melihat keindahan-keindahan yang ada di
sekeliling kita.
(Pandangan
Hidup Muslim, Pustaka Dini 2012:83)
Nasihat
dalam bayan Syaikh tadi sangat logis
dan beralasan. Mungkin kita pernah merasa gembira, merasa bahagia yang bukan
karena perkara yang disebutkan Syaikh tadi, tapi coba ingat apakah kegembiraan
dan kebahagiaan itu abadi? Bahkan mungkin pegiat maksiat pun merasa gembira
atas perilakunya sebagai misal seorang pezinah yang mungkin merasa senang ketika
berzinah, tapi yakinlah kebahagiaan mereka adalah semu dan hanya fatamorgana.
Malah fakta berbicara setelahnya ada kesusahan yang menghadang baik berupa
sakit atau kesempitan hidup lainnya. Apa ini yang kita namakan kebahagiaan?
Seorang
ulama besar Indonesia, Buya Hamka Allahu
yarham, memulai buku Tasawuf Modern-nya yang terkenal itu dengan mencari
definisi bahagia. Latar waktu penulisan buku tersebut pada saat Perang Dunia I
dimana kehancuran dunia dan peradaban manusia berada pada titik nadirnya,
lantaran keserakahan dan kepongahan segelintir orang dan bangsa. Buya Hamka
menceritakan sebuah kisah tentang manusia yang selalu mencari hakikat
kebahagiaan. Hamka sebut bahwa masalah utama manusia modern adalah sering salah
kaprah dalam mendefinisikan bahagia karena pengaruh faham materi (materialisme), suatu faham yang menilai
segala sesuatunya hanya dengan materi. Maka dunia kini makin materialistik. Bahkan
ia sebut bahwa hal tersebut adalah bentuk kejahiliyaan modern. Kalau dahulu
jahiliyah Quraisy menyembah materi yang mereka buat sendiri berbentuk berhala,
maka manusia modern juga telah menyembah materi yang tak lain dan bukan adalah
kreasi mereka sendiri. Manusia saat ini menyembah uang, mengelu-elukan
teknologi melebihi dari yang sepantasnya. Mereka menjadikan uang sebagai Tuhan.
Lalu apa yang terjadi? Manusia kini merasa terancam atas materi kreasinya
sendiri yang diberi nama nuklir.
Biarlah
para pakar berdebat tentang definisi bahagia, tulisan ini tak membahas beragam
definisi itu. Biarlah bebas setiap insan baik dibarat maupun timur memformulasi
makna bahagia itu. Tapi sebagai mukmin cukuplah petunjuk Allah dan Rasulnya
menjadi panduan untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Bukankah Nabi pernah
bersabda bahwa telah Ia tinggalkan dua perkara yang apabila kita berpegang
teguh padanya kita dijamin takkan tersesat selamanya? Kedua perkara itu adalah
Kitabullah dan Sunnah Nabinya.
Ada
baiknya kami kutip kembali beberapa ayat Al Quran yang disebut Prof Zakiah
Daradjat dalam tulisan ini sebagai tadzkiroh
bagi setiap kita yang mencari kebahagaiaan.
Al
Munafiqun: 9
Hai
orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang merugi
Ash
Shaf:10-11
Hai orang-orang
yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan
RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Al
Hadid: 20
Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Ar
Ra’du: 28-29
(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat
kembali yang baik.
Dalam
penutup bukunya Prof Zakiah Daradjat mengatakan “Marilah kita patrikan dalam
hati ungkapan berikut ini: Bagiku kebahagiaan, adalah keridhoan Allah. Semoga
Allah melimpahkan karuniaNya kepada semua hambaNya. Amin ya Rabbal ‘Alamin”
Maka
Anda dapat menyimpulkan apakah Bahagia itu Nisbi? Atau memang Bahagia itu
Nisbi!
Semoga lelah selalu mengikuti disaat kami mencari yang "semu".
Sedang kuatnya hasrat selalu memancar di kala kami menuju yang
"hakiki". Wahai pemilik Thursina! Hiasi pandangan kami dengan cahaya
agar memahami hakikatMu
[1] Seorang tokoh perempuan muslim
Indonesia yang diakui kepakarannya dalam ilmu jiwa. Belum lama beliau
meninggalkan kita tepatnya 15 Januari 2013 akan tetapi karya-karyanya tetap
memesona dan membangun jiwa.
No comments:
Post a Comment