Thursday, March 14, 2013

“Bahagia itu Nisbi?!”



Hamka, dalam bukunya “Pandangan Hidup Muslim” (Pustaka Dini, 2010:82) mengatakan bahwa Perasaan adalah garam hidup. Dengan perasaan manusia merenung, mencari ketenangan dalam pergolakan. Menampak bahagia dalam sengsara. Menampak jernihnya masa depan dalam keruhnya yang sekarang. Imbangan nada tinggi melengking dengan nada rendah mengendur, itulah dia musik dari kehidupan. Ia disebut bahagia oleh orang Indonesia, as-sa’adah dalam bahasa Arab, happiness kata orang Barat. Nampaknya kata inilah yang sering dicari manusia dengan segenap akal dan hatinya bahkan mungkin juga binatang dengan instingnya dalam kehidupan. Suatu perasaan nyaman dan hamparan kelegaan dalam jiwa dan fikiran.  

Siapapun manusia, dimanapun ia tinggal, kapanpun mereka hidup, jika ditelisik, kata itulah yang coba diraihnya kemudian diberinya kepada orang-orang yang mereka sayangi. Namun sayang banyak diantara mereka yang berusaha merumuskan bahagia dan mencari formula untuk mendapatkannya, tapi berujung pada kesengsaraan bukan kebahagiaan. Biasanya mereka itulah yang terlena kemudian terjerembab dalam perangkap jebakan kebahagiaan semu duniawiah. 

Prof Zakiah Daradjat[1] dalam bukunya yang berjudul “Kebahagiaan” halaman 9 menyebutkan bahwa bahagia dan kebahagiaan adalah yang dituju oleh setiap manusia dan ukuran bahagia sangat relatif karena setiap orang mempunyai batasan yang berbeda-beda.

“Sejak zaman dahulu kala, barangkali sejak dunia terkembang, sejak manusia ada di muka bumi ini, bahagia atau kebahagiaan itu selalu di dambakan atau dicari oleh setiap insan, sampai sekarang ini di zaman kemajuan yang telah meningkat, sebagaimana yang telah kita rasakan bersama, kebahagiaan itu masih tetap dicari. Rupanya terlalu sulit untuk mendapatkannya....Tiap orang mungkin mempunyai batasan sendiri, sehingga sukar menentukannya secara pasti”

Teringatku saat ijtima’i di Markas Jama’ah Tabligh Indonesia ketika seorang Syaikh dari Pakistan yang ku tak tahu siapa namanya memberi bayan nasihat tentang agama. Ia berbicara dengan bahasa urdu yang diartikan oleh seorang penerjemah kalimat demi kalimat. Terkenang ia memaparkan soal bahagia dan kebahagiaan yang sejati. 

Syaikh itu berkata bahwa setiap insan di muka bumi pasti mencari yang namanya bahagia dan kebahagiaan. Sebagian mereka mengira bahwa kebahagiaan itu berasal dari harta kekayaan, karenanya ia cari berbagai macam cara untuk mendapatkan kekayaan tak lagi peduli soal halal dan haram. Sebagian lagi mengatakan bahwa kebahagiaan itu berasal dari pangkat kedudukan dan jabatan, lalu mereka berlomba-lomba untuk mendapatkannya dengan beragam cara pula. Pandangan itu muncul lantaran mereka terfokus melihat zhohir dan mengabaikan sisi bathin. Terbiasa melihat sisi luar dan permukaan.

Kemudian Syaikh itu melanjut mengkritisi pemahaman dua golongan manusia tadi. Yang pertama menisbatkan bahagia pada harta, dan yang lainnya pada pangkat kedudukan dan jabatan. Tidakkah kita ingat bahwa Allah itu Maha Adil (al ‘Adl)? Jika Allah memiliki asma’ dan sifat Al ‘Adl maka tidak mungkin ia berbuat sebaliknya, yakni zholim. Dengan intonasi meninggi Syaikh itu berkata “Maka tidak mungkin bagi Allah meletakkan bahagia dan kebahagaiaan pada harta kekayaan atau pangkat kedudukan dan jabatan. Kenapa? Karena tidak semua orang memiliki harta dan jabatan. Jika Allah meletakkan kebahagiaan dalam harta dan kedudukan, maka Allah tidak adil terhadap si miskin nan papa. Bagaimana mungkin mereka bisa merasakan kebahagiaan padahal mereka tidak memiliki apa-apa? Dan ini tidaklah mungkin, mustahil bagi Allah.”

Sebelum ditanya, Syaikh tersebut kembali meneruskan bayan nasihatnya “lalu dimana Allah letakkan bahagia dan kebahagiaan itu?” hadirin terdiam dan makin serius menyimak bayan dengan tawajjuh, ia lanjut “Allah letakkan bahagia dan kebahagiaan itu dalam pengilmuan dan pengamalan agama. Bahagia Allah letakkan dalam pengilmuan dan pengamalan Al Quran dan Sunnah sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan generasi terbaik ummat ini, yakni generasi Rasulullah SAW, para Sahabat r.anhum ajma’in dan para pengikutnya (tabi’in dan tabiut tabi’in)”

Dengan penuh ghiroh Syaikh mengatakan bahwa “siapapun Anda, darimana pun Anda berasal, kapanpun Anda hidup, Anda akan mendapatkan kebahagiaan yang tak semu, kebahagiaan yang hakiki hanya dengan mengikuti Allah dan Rasulnya.” Sontak hadirin yang hadir mengucapkan “Masya Allah...” “Subahanallah...”. kemudian Syaikh mengingatkan muslimin Indonesia “Ingatlah bahwa kejayaan, kemuliaan dan kebahagiaan hanya dapat kita raih dengan mengikuti petunjuk baginda Muhammad SAW”.

Kekayaan manusia bukanlah ukuran gedung dan mobilnya. Nilai umur dan nilai hidup ditentukan oleh halus-kasarnya perasaan melihat keindahan-keindahan yang ada di sekeliling kita.
(Pandangan Hidup Muslim, Pustaka Dini 2012:83)

Nasihat dalam bayan Syaikh tadi sangat logis dan beralasan. Mungkin kita pernah merasa gembira, merasa bahagia yang bukan karena perkara yang disebutkan Syaikh tadi, tapi coba ingat apakah kegembiraan dan kebahagiaan itu abadi? Bahkan mungkin pegiat maksiat pun merasa gembira atas perilakunya sebagai misal seorang pezinah yang mungkin merasa senang ketika berzinah, tapi yakinlah kebahagiaan mereka adalah semu dan hanya fatamorgana. Malah fakta berbicara setelahnya ada kesusahan yang menghadang baik berupa sakit atau kesempitan hidup lainnya. Apa ini yang kita namakan kebahagiaan?

Seorang ulama besar Indonesia, Buya Hamka Allahu yarham, memulai buku Tasawuf Modern-nya yang terkenal itu dengan mencari definisi bahagia. Latar waktu penulisan buku tersebut pada saat Perang Dunia I dimana kehancuran dunia dan peradaban manusia berada pada titik nadirnya, lantaran keserakahan dan kepongahan segelintir orang dan bangsa. Buya Hamka menceritakan sebuah kisah tentang manusia yang selalu mencari hakikat kebahagiaan. Hamka sebut bahwa masalah utama manusia modern adalah sering salah kaprah dalam mendefinisikan bahagia karena pengaruh faham materi (materialisme), suatu faham yang menilai segala sesuatunya hanya dengan materi. Maka dunia kini makin materialistik. Bahkan ia sebut bahwa hal tersebut adalah bentuk kejahiliyaan modern. Kalau dahulu jahiliyah Quraisy menyembah materi yang mereka buat sendiri berbentuk berhala, maka manusia modern juga telah menyembah materi yang tak lain dan bukan adalah kreasi mereka sendiri. Manusia saat ini menyembah uang, mengelu-elukan teknologi melebihi dari yang sepantasnya. Mereka menjadikan uang sebagai Tuhan. Lalu apa yang terjadi? Manusia kini merasa terancam atas materi kreasinya sendiri yang diberi nama nuklir.

Biarlah para pakar berdebat tentang definisi bahagia, tulisan ini tak membahas beragam definisi itu. Biarlah bebas setiap insan baik dibarat maupun timur memformulasi makna bahagia itu. Tapi sebagai mukmin cukuplah petunjuk Allah dan Rasulnya menjadi panduan untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Bukankah Nabi pernah bersabda bahwa telah Ia tinggalkan dua perkara yang apabila kita berpegang teguh padanya kita dijamin takkan tersesat selamanya? Kedua perkara itu adalah Kitabullah dan Sunnah Nabinya.

Ada baiknya kami kutip kembali beberapa ayat Al Quran yang disebut Prof Zakiah Daradjat dalam tulisan ini sebagai tadzkiroh bagi setiap kita yang mencari kebahagaiaan.
Al Munafiqun: 9
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi
Ash Shaf:10-11
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Al Hadid: 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Ar Ra’du: 28-29
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.

Dalam penutup bukunya Prof Zakiah Daradjat mengatakan “Marilah kita patrikan dalam hati ungkapan berikut ini: Bagiku kebahagiaan, adalah keridhoan Allah. Semoga Allah melimpahkan karuniaNya kepada semua hambaNya. Amin ya Rabbal ‘Alamin”
Maka Anda dapat menyimpulkan apakah Bahagia itu Nisbi? Atau memang Bahagia itu Nisbi!

Semoga lelah selalu mengikuti disaat kami mencari yang "semu". Sedang kuatnya hasrat selalu memancar di kala kami menuju yang "hakiki". Wahai pemilik Thursina! Hiasi pandangan kami dengan cahaya agar memahami hakikatMu



[1] Seorang tokoh perempuan muslim Indonesia yang diakui kepakarannya dalam ilmu jiwa. Belum lama beliau meninggalkan kita tepatnya 15 Januari 2013 akan tetapi karya-karyanya tetap memesona dan membangun jiwa.

No comments:

Post a Comment