Monday, March 18, 2013

Sepenggal Episode Bersama Bapak


Tidak begitu kenal secara dalam, itu harus diakui. Seorang sosok yang dikenal orang sebagai Ustadz penghafal Quran, sebagian orang menyematkan “KH” pada namanya. Gelar itu mungkin pantas dan bahkan sangat layak untuknya. Beliaulah tokoh dan ulama di Kujang, Ciamis, Jawa Barat. Murid dan mustami’ nya sudah ada pula yang menjadi ustadz yang juga penghafal Quran, maka pemahamanku beliau adalah al ‘alamah seorang ‘alim yang melahirkan ‘alim yang lain.

Kali pertama bertemu di sekitar bulan November 2011 ketika diri ini bersilaturahim ke rumahnya. Beliau pakai celana pendek, bertelanjang dada, rambut kurang tersisir rapih, dan sebatang rokok terjepit diantara bibir atas dan bawahnya. Cuek adalah kesan pertama yang muncul ketika melihat mimik wajah dan gestur tubuhnya.

Tak banyak berbicara, tak banyak kata, tapi jelas sorot mata menyirat beliau sosok berwibawa. Yang kemudian terbukti saat kali pertama shalat jama’ah tepat di Masjid kediamannya. Beliau menjadi Imam shalat yang selalu menghadap makmum sebelum takbir pertama dengan sapuan mata membuat suasana menjadi hening dan shaf merapat, tak terkecuali anak-anak.

Berbincang dengan manusia seperti ini membuat canggung bahkan salah tingkah. Tersebab memang tak kenal sebelumnya, tapi interaksi khalayak padanya menggambarkan citra bahwa beliau memang cukup istimewa. Setidaknya di masjid itu.

“Namanya siapa, darimana?” tanyanya dengan singkat. Ku jawab dengan penuh hormat “nama saya Farid, Pak..” sedikit menghela nafas kulanjut “saya dari Jakarta, asli Jakarta”. Beliau lanjut bertanya “Jam berapa dari Jakarta? Naik apa?” ku jawab dengan singkat pula “sekitar jam 8 Pak, naik bus” beliau mengangguk, “ini kali pertama saya jalan jauh naik bus Pak, kali pertama juga ke Ciamis, lumayan jauh juga ya pak..he he” kucoba mencairkan suasana. Kemudian berlanjut dengan obrolan ringan lain.

Menjelang dan setelah maghrib hingga isya adalah waktu khususnya untuk melantunkan ayat suci. Saat dimana beliau menamatkan setidaknya 10 juz Al Quran untuk menjaga hafalan akan keseluruhan ayat-Nya itu. Bacaan memang tidak seperti pada Qori’ yang melantun syahdu ayat -yang bahkan berlebihan dengan memanjangkan mad yang harusnya dibaca 2 menjadi 20 harokat-. Akan tetapi bacaannya tartil, pelan, perlahan, kadang terdiam, mungkin menyimak makna dan mentadabburi ayat demi ayat yang ia baca.

Terkenang pengakuan diri beliau yang tak sengaja berkata dalam obrolan “saya mungkin hampir setiap 3 atau 4 hari khatam Quran untuk menjaga hafalan sebab karena faktor usia sering ada yang terlupa atau terbolak balik susunannya”. Dalam hati merasa tertampar, Allah ingatkan diri bahwa ada yang terlalai selama ini bahkan 1 juz pun jarang tercapai dalam sehari, walaupun dapat dipastikan beberapa halaman dapat terlampaui.

Bicaranya tulus dan terasa tak ada maksud memamerkan diri melainkan hanya sekedar bicara tentang aktivitas rutin harian yang terlalui. Hampir setahun bersamanya walau hampir seluruhnya hanya di akhir pekan. Tapi harus diakui bahwa interaksi kami tak banyak, hampir tak ada ratusan kata –jika dihitung- yang keluar dari dialog kami.

Sebelum shubuh ia terbangun tuk menyungkur sujud dalam peraduan Tuhan-Nya. Mendekati shubuh ia duduk dibangku dalam ruangan khususnya untuk sibuk dengan Quran. Setelah adzan ia sholat sunnah fajr di ruangannya itu, lalu kembali membuka Quran dan membacanya sekitar 50-100 ayat. Kemudian di Masjid terdengar iqomah untuk memanggil dirinya memimpin sholat jama’ah. Setelah sholat ia kembali kerumah, duduk tawajjuh lagi di bangku khusus di dalam ruangannya itu. Kembali ia buka Quran lalu membaca hingga matahari menampakkan batang hidungnya.
Tak lama berselang ia ganti baju bersiap menuju balong (empang) untuk mengurus ikan yang menjadi kegemarannya. Umurnya tidak lagi muda, melihatnya memanggul pacul tak memperlihatkan dirinya telah 68 tahun lalu terlahir di dunia ini.
Setidaknya ada beberapa episode dimana kami berdialog cukup panjang dan cukup berkesan, disitulah dua hal bertemu yakni hikmatusysyuyukh wa hamasatussabab (kebijaksanaan para tetua dan semangatnya pemuda)

Episode “Ngusep”

“Suka ngusep?” tanya beliau padaku, kujawab “uhm..ngusep itu apa Pak?”, berbalas senyum darinya lalu “Mancing!”, “owh mancing, suka Pak tapi ga terlalu hobi, hehe” jawabku. Sabtu pagi beliau panggil santri untuk membelikan kail dan peralatan mancing sederhana lainnya. Kemudian kami turun bersama ke bawah menuju balong yang ditengahnya sebuah gubuk cantik dari kayu. Di kanan kiri banyak kolam yang berisi ragam ikan; gurame, mas, nila, dan kebanyakan mujaer. Kemudian kami menuju gubuk peristirahatan untuk memasang kail dan mencari umpan cacing. Sesekali Bapak menaburkan dedeg (gilingan gabah) ke dalam kolam untuk mengundang ikan muncul ke permukaan.

Ternyata beliau dapat informasi bahwa aku hobi mancing, dan karena mengira aku pemalu maka ia tawarkan lebih dulu ajakan memancing. “Laukna alit” kata beliau dalam bahasa sunda yang artinya “ikannya kecil-kecil”, karena memang beberapa pekan sebelumnya sudah di panen. Cukup gesit dan cepat beliau menarik pancingan, sedang ku tidak banyak bergerak karena mempelajari terlebih dahulu seluk beluk balong. Semua hasil pancingan di taruh dalam ember yang berisi sedikit air daun singkong. Kira-kira hanya 10% dari total ikan di ember hasil pancinganku, sisanya milik Bapak. Dari sini kupetik hikmah bahwa beliau menjalankan perintah Nabi SAW yang menyebut hendaklah setiap mukmin yang beriman pada Allah SWT dan hari akhir hendaknya menghormati tetamunya (fal yukrim jaarohu).

Episode “Khutbah”

Selain mengisi kelas tafsir di Pesantren, beliau juga mengisi banyak majelis pengajian rutin Quran dan Sunnah mulai dari sekitar Tasik, Ciamis, Banjar, Cilacap, Bandung, hingga Banten. Diantaranya juga mengisi khutbah jumat di berbagai Masjid. Alhamdulillah Allah beri kesempatan 3 kali mengikuti khutbah jumat beliau. Tiada yang keluar dari lisannya saat menjadi khatib kecuali kumpulan ayat dan hadits serta tafsiran para ulama akan keduanya. Ini sesuai dengan perkataannya padaku bahwa “jika kita menjelaskan atau ditanya, maka cukupkan diri dengan Qola Allah, Qola Rasul, atau bilang saya tidak tahu” yang bermakna bahwa hendaklah setiap diri menjadikan Quran dan Sunnah jadi panduan.

Mimik wajahnya datar, sorot mata tajam, penyampaiannya sistematis dan tersusun rapih. Penyampaian khutbah agak lama tapi hampir tiada pendengar tertunduk dan memejamkan mata. Karena memang kata yang keluar dari lidah ulama merasuk ke hati, cerah wajah menambah pikatan mata untuk tetap menatapnya. Ada benar orang yang mengatakan bahwa menatap wajah ulama itu meneduhkan bahkan mengingatkan kita akan Tuhan.

Beberapa saat setelah sholat jumat selesai kita makan bersama DKM Masjid, lalu ada yang bertanya mengapa beliau memakai bahasa Indonesia dalam khutbahnya. Lalu sambil makan nasi liwet beliau menjawab hanya sambil menunjuk diriku ini “dia tidak bisa mengerti bahasa sunda”, semua yang sedang makan tersenyum dan mengangguk-angguk.

Sontak lantunan tasbih “subhanallah” keluar dari mulutku. Tak terpikir bahwa ternyata selama ini beliau khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia agar diri ini mengerti dan memahami maksud kajian secara sempurna.

Telah kutulis dan kuingat isi khutbahnya, sebagian sudah kusampaikan pada beberapa kesempatan pengajian. Tiada harapan kecuali agar itu menjadi salah satu amal jariyah beliau yang tak terputus hingga kiamat kelak.

Episode “Sekilas tentang PERSIS & MASJUMI”

Senin sore ku duduk diatas bangku kayu di teras depan rumahnya, secangkir teh hangat dan buku “PERSIS, Gerakan Islam Fundamental” terletak di atas meja marmer. Tepat diseberang rumah, seorang ustadz di Masjid sedang mengisi kajian rutin muslimah.
Kemudian ku baca buku tersebut yang memang sengaja dibawa dari Jakarta menjadi bacaan ringan perjalanan menuju Ciamis. Kuteruskan baca sampai halaman yang membahas mengenai peran gerakan tokoh-tokoh PERSIS dalam MASJUMI diantara sekilas membahas Moh. Natsir, Hassan Bandung, Isa Anshari, dan lain-lain yang merupakan ulama sekaligus politisi muslim.

Tiba-tiba beliau duduk di sebelahku, memakai kain dan kaos oblong santainya sambil memegang rokok. Lalu aku masuk ke dalam sebentar mengambil air, dan ternyata buku itu sedang dibaca olehnya. Ia tanya “buku siapa ini?” kujawab “buku saya Pak, baru beli onlinei bersama buku-buku langka lainnya”. Ia tersenyum lalu bercerita banyak tentang PERSIS dan MASJUMI, tak lupa sebatang rokok melekat di bibirnya.

Sebagaimana kita tahu bahwa Masjumi adalah partai pertama yang dibangun oleh seluruh kelompok umat islam di Indonesia. Seluruh ormas Islam bersepakat menjadikan MASJUMI sebagai kendaraan politik untuk merealisasikan agenda umat. Salah satu pemimpin populer baik oleh kawan maupun lawan adalah Moh. Natsir dari PERSIS. Beliau adalah murid Hassan Bandung yang terkenal ahli berdedat itu.

Bapak cerita banyak hal, suatu hal yang sangat jarang, karena biasanya hampir tidak berkata-kata. Alhamdulillah hobi membaca membantuku mengimbangi obrolan itu dan membuatnya makin antusias berdiskusi. Hingga ia sebut bahwa nama putera ketiganya itu diambil dari nama tokoh MASJUMI Jawa Barat yang sangat keras berseberangan dengan kelompok nasionalis sekuler pada masa pembentukan negara ini, yakni Isa Anshari. Tahulah aku bahwa nama anaknya yang juga penghafal Quran itu terinspirasi dari tokoh besar MASJUMI.

Episode “Mitsaqan Ghalizha”

Seluruh keluarga telah hadir, para undangan dan tamu sudah ada yang berdatangan sejak pagi. 25 Maret 2012 adalah saat dimana beliau menjadi saksi pernikahanku. Prosesi menuju akad dimulai dengan hikmat. Setelah khutbah nikah disampaikan di atas mimbar oleh Prof. Maman Abdurrakhman (Ketua Umum PERSIS), pembawa acara melanjutkan acara “marilah kita lanjut pada acara inti yaitu akad nikah yang akan dipimpin langsung oleh Bapak KH. M. Udin Saepudin”. Degub di dada makin menjadi, tak terbayang suatu hal yang sering dibicarakan kini tinggal menunggu hitungan menit. Bapak memulainya dengan memberi taushiyah dan hikmah pernikahan. Bapak mulai dengan muqoddimah ayat Quran dan Hadits, lalu untaian nasihatnya ku perhatikan betul keluar dari sela-sela giginya. Jenggotnya yang putih memanjang menambah kewibawaan dirinya.

“Saya meminta, anak saya ini jangan hanya di kasih makan, di kasih perhiasan, dikasih rumah, tapi yang lebih penting diberi asupan ruhani, senantiasa dibimbing dan diajari. Karena jika anak sholih maka orang tua menuai pahala, sebaliknya jika anak ingkar maka orang tua punya tanggung jawab terhadapnya”

Begitu sedikit penggalan butiran hikmah Bapak yang tertancap di hati. Kulihat matanya berkaca-kaca saat menyampaikan nasihat kepada calon anaknya, aku. Begitu berat nampaknya ia melepas anak perempuan satu-satunya. Tersirat pesan kuat pada wajahnya “jaga anakku sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.

Kupikir yang menikahkan adalah penghulu, ternyata prosesi akad langsung dipimpin Bapak, sedang penghulu hanya duduk menyaksikan di kiri Bapak. Hadirin makin maju padat kedepan, sorotan kamera siap menuju tepat dihadapan.

Bapak langsung menjulurkan tangan kanannya, kemudian kusambut dengan dengan tangan kanan pula. Jemariku menelengkup jemarinya, kuat tergenggam. Sementara di kening mulai basah oleh keringat tanda kugugupan datang. Tak lama berselang dengan tegas bapak mengucap:

“Bismillaahirrahmaanirraahiim...Farid, Aku kawinkan engkau, aku nikahkan engkau dengan anakku Nisa Fauziah”, sontak kujawab “Saya terima nikah dan kawinnya Nisa Fauziah binti KH Saefudin dengan mas kawin tunai!”, sesaat setelah itu Prof Maman sebagai saksi berteriak “Sah!” kemudian hadirin bergemuruh “Sahhhhhh!!!” Alhamdulillah.... terdengar kuat tersampai doa “Baarokallah laka wa baroka ‘alaikuma wa jama’ah bainakuma fi khoir”.

Penutup

Ya, beliau adalah mertuaku sendiri, almarhum KH M. Udin Saepudin. Tak lama memang berinteraksi dengan beliau, tapi adalah benar bahwa hati itu ibarat prajurit, ia akan bergabung dengan hati yang memiliki frekuensi yang sama.

Beliau mengajarkan bahwa cinta tak harus banyak berkata, bahwa perhatian tak harus disampaikan, bahwa nasihat tak harus disampaikan lewat lisan dan tulisan akan tetapi dengan diam dan tauladan.

Duhai Bapak engkau kembali ke hadirat-Nya 25 Februari 2012, setahun kurang lebih berinteraksi. Dan yang paling membuatku bahagia adalah bahwa anakku telah lahir dari rahim anak perempuan tunggalmu dan sempat merasakan peluk dan doamu, bahkan engkau pula yang mengusulkan nama Omar padanya. Semoga Omar kelak mewarisi keshalihanmu.

Ya Allah, jadikanlah kuburnya sebagai taman dari taman-taman surga, ampuni, rahmati, berkahi Ya Robb.Pertemukanlah kami semua di surga Firdaus-Mu.

4 comments:

  1. Postingan yang emosional, menjalar dan melarutkan pembacanya. MasyaAllah...
    Teriring doa semoga Bapak antum mendapatkan tempat terbaik disisiNya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin, terima kasih ust. Iswandi..semoga sehat berkah melimpah ruah. Sudah lama nda jumpa pasca tugas di Papua kita, mudah2an ada waktu silaturohim ya :)

      Delete
  2. Subhanalloh kang...
    hatur nuhun kanggo tulisan 'amazing'-nya kang farid, bacanya nympe nangis :')
    singkat namun tersirat byk pelajaran..

    syukron katsier bwt Alm. Al-Mukarrom utk smw ilmunya, tak akan prnah kami lupakan & Insya Allah akan mjd bekal di kehidupan kami, saya khususnya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin...bahkan menulisnya pun menitikkan air mata. Beliau ajarkan bahwa cinta perhatian kasih sayang dan lainnya hanya dengan diam dan tauladan.

      Terima kasih kang chairul sudah sudi berkunjung ke blog kami yang sederhana ini :)

      Delete