Balada Status Quo
Cerita ini adalah fiktif belaka, apabila terdapat persamaan tokoh, tempat,
waktu, dan peristiwa, hanyalah suatu kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Di suatu saat dimana hari belum bernama, dimana tanggal belum ditentukan. Kala
alam hanya mengenal matahari sebagai “siang” dan bulan purnama sebagai “malam”.
Ketika alam begitu berkuasa. Hujan, petir, kilat, angin kadang menjadi harapan,
namun seringkali menjadi ancaman dan malapetaka.
Di suatu tempat yang penuh rerimbun pepohonan yang mungkin saat ini tepat
dinamai sebagai hutan hiduplah “pemerintahan binatang”. Sekilas mata mereka
hidup rukun tentram, dari luar terlihat memiliki kekuatan, akan tetapi sangat
rapuh dan rentan di dalam. Tidak ada kodifikasi hukum macam sekarang, yang
dihormati dan menjadi ketentuan alam adalah “hukum rimba”. There is no
law which respected, meminjam istilah Thomas Hobes homo homini
lupus (manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya).
Layaknya sebuah pemerintahan sungguhan, pemerintahan binatang juga memiliki
pemimpin. Bentuk pemerintahannya tidak dapat dikategorikan totaliter, tidak
juga demokratis. Lebih tepat bentuknya seperti “kerajaan”. Demokrasi berjalan
hanya sekedar prosedural untuk mendapat legitimasi kekuasaan. Ironinya, pemerintahan
dijalankan bak sebuah yayasan –yang
dimiliki dan dikelolah oleh segelintir orang-. Sebetulnya tidak pas juga jika
disebut yayasan modern sebab para punggawanya tidak cukup amanah, tidak cukup
profesional, juga tidak cukup transparan.
Roda pemerintahan bergulir dibawah
ketiak oligarki kekuasaan yang kadang interest pribadi dan
kelompoknya besar. Tentu mereka memiliki undang-undang, namun agak samar,
longgar, dan pastinya ada penegakkan hukum, cuma sayang seringkali tajam ke
bawah tumpul ke atas. Sebab yang menjalankan hukum adalah sang pembuat hukum.
Mereka yang buat, mereka yang jalankan sekaligus yang mengawasi. Lalu muncul
pertanyaan “Quis Custodiet Ipsos Custodes?” (siapa yang mengawasi para
pengawas?).
Pemerintahan binatang dipimpin oleh seekor Singa, maka ia sering dipanggil
Raja Singa. Terdapat beberapa Wazir atau Menteri yang mengurusi berbagai
persoalan administratif, mulai dari juru tulis yang sering menulis titah sang
raja, penanggung jawab kondisi keuangan, logistik, bagian perikebinatangan.
Seluruh Menteri berasal dari berbagai ragam species walau kadang dari family
dan ordo yang sama. Setidaknya
mewakili kehidupan perikebinatangan di hutan itu. Ragam tugas manajemen
dilaksanakan akan tetapi jika ditelisik dengan jujur nasibnya laa yamutu wa laa yahya (tidak hidup tidak
juga mati). Merasa besar di mata sendiri, kecil tak berarti dalam pandangan
orang yang memandang.
Sebagai sebuah pemerintahan, mereka memiliki teritori yang berdaulat,
rakyat yang diperintah dan pengakuan dari pemerintahan lainnya. Sebagai sunnatullah yang pasti terjadi dimana
ada hitam pasti ada putih, ada keadilan disitu pula ada kezholiman. Rapuhnya
“manajemen” pemerintahan binatang itu menjadi sorotan beberapa pihak yang
memperdulikannya. Sorotan itu sebagian dilatarbelakangi dari perasaan kecewa,
sebagian yang lain karena cinta. Yang terakhir ini sebetulnya lebih banyak
daripada yang pertama.
Kritisasi terjadi dengan sangat apik, kelebihan dan kekurangan manajemen
pemerintahan sudah terbaca dengan terang. Riak-riak reformasi dan perbaikan
terus bergaung, kesadaran semu mulai berganti menjadi kesadaran utuh.
Namun memang sejak dari zaman dahulu kala riak-riak itu dapat diredam,
kemudian sunyi. Apa sebab? Pemangku jabatan itu sangat lihai dalam memainkan
psikologis masa. Modus operandinya beragam, diantaranya menjadikan musuh
sebagai teman dekat melalui iming-iming “jabatan” dan “award”, seringkali juga
menghembuskan doktrin “sabar” yang disalahartikan, atau pilihan ekstrim lain
adalah melakukan pembunuhan karakter (character
assasin) atau pembunuhan dalam arti sebenarnya.
Adalah maklum jika regenerasi hanyalah sebatas obrolan, memangku jabatan
hingga pensiun adalah “taqdir”. Itu sebab para pemangku jabatan terbius pada
zona nyaman. Seringkali menilai ke bawah, namun mungkin para kritikus perlu
meminjamkan pecahan cermin untuk mereka berkaca, ya berkaca tentang diri. Perubahan
–pada masa yang demikian- itu hanya mungkin terjadi dengan dua hal: kesadaran
para pemangku jabatan di “kerajaan” atau ajal yang memisahkan.
Inilah "prosa" abstrakku tentang balada status quo.
Suatu sore di Jakarta
No comments:
Post a Comment