Thursday, April 4, 2013

Balada Status Quo


Balada Status Quo

Cerita ini adalah fiktif belaka, apabila terdapat persamaan tokoh, tempat, waktu, dan peristiwa, hanyalah suatu kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Di suatu saat dimana hari belum bernama, dimana tanggal belum ditentukan. Kala alam hanya mengenal matahari sebagai “siang” dan bulan purnama sebagai “malam”. Ketika alam begitu berkuasa. Hujan, petir, kilat, angin kadang menjadi harapan, namun seringkali menjadi ancaman dan malapetaka.

Di suatu tempat yang penuh rerimbun pepohonan yang mungkin saat ini tepat dinamai sebagai hutan hiduplah “pemerintahan binatang”. Sekilas mata mereka hidup rukun tentram, dari luar terlihat memiliki kekuatan, akan tetapi sangat rapuh dan rentan di dalam. Tidak ada kodifikasi hukum macam sekarang, yang dihormati dan menjadi ketentuan alam adalah “hukum rimba”. There is no law which respected, meminjam istilah Thomas Hobes homo homini lupus (manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya).

Layaknya sebuah pemerintahan sungguhan, pemerintahan binatang juga memiliki pemimpin. Bentuk pemerintahannya tidak dapat dikategorikan totaliter, tidak juga demokratis. Lebih tepat bentuknya seperti “kerajaan”. Demokrasi berjalan hanya sekedar prosedural untuk mendapat legitimasi kekuasaan. Ironinya, pemerintahan dijalankan bak sebuah yayasan –yang dimiliki dan dikelolah oleh segelintir orang-. Sebetulnya tidak pas juga jika disebut yayasan modern sebab para punggawanya tidak cukup amanah, tidak cukup profesional, juga tidak cukup transparan. 

Roda pemerintahan bergulir dibawah ketiak oligarki kekuasaan yang kadang interest pribadi dan kelompoknya besar. Tentu mereka memiliki undang-undang, namun agak samar, longgar, dan pastinya ada penegakkan hukum, cuma sayang seringkali tajam ke bawah tumpul ke atas. Sebab yang menjalankan hukum adalah sang pembuat hukum. Mereka yang buat, mereka yang jalankan sekaligus yang mengawasi. Lalu muncul pertanyaan “Quis Custodiet Ipsos Custodes?” (siapa yang mengawasi para pengawas?).

Pemerintahan binatang dipimpin oleh seekor Singa, maka ia sering dipanggil Raja Singa. Terdapat beberapa Wazir atau Menteri yang mengurusi berbagai persoalan administratif, mulai dari juru tulis yang sering menulis titah sang raja, penanggung jawab kondisi keuangan, logistik, bagian perikebinatangan.

Seluruh Menteri berasal dari berbagai ragam species walau kadang dari family dan ordo yang sama. Setidaknya mewakili kehidupan perikebinatangan di hutan itu. Ragam tugas manajemen dilaksanakan akan tetapi jika ditelisik dengan jujur nasibnya laa yamutu wa laa yahya (tidak hidup tidak juga mati). Merasa besar di mata sendiri, kecil tak berarti dalam pandangan orang yang memandang.

Sebagai sebuah pemerintahan, mereka memiliki teritori yang berdaulat, rakyat yang diperintah dan pengakuan dari pemerintahan lainnya. Sebagai sunnatullah yang pasti terjadi dimana ada hitam pasti ada putih, ada keadilan disitu pula ada kezholiman. Rapuhnya “manajemen” pemerintahan binatang itu menjadi sorotan beberapa pihak yang memperdulikannya. Sorotan itu sebagian dilatarbelakangi dari perasaan kecewa, sebagian yang lain karena cinta. Yang terakhir ini sebetulnya lebih banyak daripada yang pertama.

Kritisasi terjadi dengan sangat apik, kelebihan dan kekurangan manajemen pemerintahan sudah terbaca dengan terang. Riak-riak reformasi dan perbaikan terus bergaung, kesadaran semu mulai berganti menjadi kesadaran utuh.

Namun memang sejak dari zaman dahulu kala riak-riak itu dapat diredam, kemudian sunyi. Apa sebab? Pemangku jabatan itu sangat lihai dalam memainkan psikologis masa. Modus operandinya beragam, diantaranya menjadikan musuh sebagai teman dekat melalui iming-iming “jabatan” dan “award”, seringkali juga menghembuskan doktrin “sabar” yang disalahartikan, atau pilihan ekstrim lain adalah melakukan pembunuhan karakter (character assasin) atau pembunuhan dalam arti sebenarnya.

Adalah maklum jika regenerasi hanyalah sebatas obrolan, memangku jabatan hingga pensiun adalah “taqdir”. Itu sebab para pemangku jabatan terbius pada zona nyaman. Seringkali menilai ke bawah, namun mungkin para kritikus perlu meminjamkan pecahan cermin untuk mereka berkaca, ya berkaca tentang diri. Perubahan –pada masa yang demikian- itu hanya mungkin terjadi dengan dua hal: kesadaran para pemangku jabatan di “kerajaan” atau ajal yang memisahkan.

Inilah "prosa" abstrakku tentang balada status quo.

Suatu sore di Jakarta

No comments:

Post a Comment