Suatu pagi ada kajian
tafsir di Masjid Al Ihsan, sang ustadz menyampaikan tafsir ayat 104-105 surah
Ali Imron yang berbunyi sebagai berikut:
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat
(Ali Imron: 104-105)
Banyak ilmu yang
disampaikan oleh beliau, akan tetapi saya tertarik pada penjabaran beliau
tetang “jangan bercerai-cerai” dan “berselisih”. Beliau memaparkan bagaimana
kondisi persatuan ummat hari ini yang jauh dari panggang dari api. Seakan-akan
memang persatuan tidak akan mewujud dalam kehidupan nyata umat hari ini. Kemudian
juga disampaikan fenomena partai politik yang menjadikan Islam sebagai dasar
dan visi perjuangan. “Seharusnya jika partai-partai itu betul-betul menjadikan Islam
sebagai dasar dan visi perjuangannya, maka seharusnya hanya ada satu partai Islam”,
singgung beliau. Dalam hal ini beliau jelas mengkritisi fenomena partai-partai
Islam hari ini, akan tetapi beliau tetap menyampaikan bahwa politik adalah
bagian dari Islam itu sendiri yang tak terpisahkan.
Setelah kajian hampir
selesai, maka dibuka sesi tanya jawab. Kesempatan itu saya gunakan untuk
bertanya beberapa hal, tapi yang menjadi pertanyaan utama adalah soal persatuan
ummat (wihdatul ummah):
“Ada yang mengatakan bahwa apa yang kita
sebut persatuan atau wihdatul ummah
itu sulit untuk diterapkan, bahkan hanya angan-angan belaka. Itu sebabnya Syaikh
Yusuf Qordhowi pun mengatakan bahwa yang dimungkinkan dicapai oleh
masing-masing jama’ah-jama’ah kaum muslimin adalah taqoorub (pendekatan) bukan wahdatun
(persatuan). Bagaimana pandangan ustadz terhadap pendapat tersebut?”.
Berikut
tanggapan beliau atas pertanyaan di atas:
“Bahwa yang
dimaksud dengan persatuan bukanlah persatuan umat islam dalam satu jamaah atau
satu wadah. Tetapi yang dimaksud adalah persatuan umat dalam dasar dan visi
perjuangan. “Persatuan” bukanlah kata kerja (fi’il) atau bukan sebab melainkan akibat dari kerja (infi’al). Artinya orang bisa bersatu
karena ada sesuatu yang dapat menyatukannya. Oleh karenanya kerja kita adalah
kembali menyeru umat untuk kembali pada Al Quran dan As Sunnah. Karena Alquran
dan Sunnah-lah yang dapat menyatukan kita. Ketika muslim kembali pada keduanya,
maka mereka akan memiliki pemahaman yang relatif sama. Kalaupun ada perbedaan,
maka itu relatif sedikit dalam ranah khilafiah. Dan yang terpenting adalah
jangan kita berputus asa terhadap persatuan ummat walau hari ini terlihat
kurang memungkinkan”
Jawaban
di atas mengingatkan kita untuk kembali pada sebab persatuan yang juga
diperintahkan oleh Nabi, yakni kembali pada Kitabullah dan Sunnah-nya. Ketika "sebab" sudah terpenuhi maka insya Allah "akibat" akan datang kemudian. Walaupun jika Allah berkehendak tanpa sebab-pun akibat bisa muncul seketika. Akan tetapi Allah hendak menguji kita siapa yang paling baik amalnya. Demikian sedikit ulasan menyoal persatuan umat. Pertanyaan yang harus kita jawab adalah apakah persatuan atau "wihdatun" itu dapat digapai oleh umat?
Karena
keterbatasan waktu, maka diskusi tersebut dicukupkan.
No comments:
Post a Comment