Thursday, June 13, 2013

Rhenald Kasali menyebutnya “ Warisan yang Intangible ”, Buya Hamka menyebutnya “Jasa Batin Yang Dapat Difikir”



Pada 11 Juni 2013 sekitar pukul 20.00 WIB tidak sengaja saya menonton TVRI. Saya tertarik karena nama acara tersebut adalah Rumah Perubahan yang diasuh oleh Bapak Rhenald Kasali. Tidak lama memang saya menonton paling tidak sekitar 10-15 menit pada session 1 sebelum pariwara. Ada beberapa kalimat yang membuat saya memperhatikannya cukup serius karena mengingatkan saya akan pandangan Buya Hamka (alm) tentang kemuliaan budi.

Sambil memegang angklung Pak Rhenald kurang lebih intinya mengajak manusia hari ini untuk memiliki karya. “Karena setiap generasi memiliki karya, seperti angklung ini, jangan sampai kita hanya “perantara” yang mewarisi karya generasi sebelum kita bahkan beberapa generasi sebelum kita”, kata beliau dengan antusias.

Pak Rhenald juga menyatakan bahwa untuk dikenang manusia kita mesti memiliki warisan yang tidak hanya bersifat fisik tapi juga “intangible”. Yakni warisan karya yang tak nampak atau bukan benda. Mendengar statement tersebut terlintas di benak saya tulisan lawas Ulama Besar Indonesia Almarhum Buya Hamka yang berjudul “Falsafah Hidup”[1] yang saya baca beberapa waktu lalu.

Hamka menulis bahwa kemuliaan itu terbagi dua, yakni kemuliaan hidup dan kemuliaan jasa. Kemuliaan hidup ialah kemuliaan budi di dalam pergaulan, lantaran pandai menghormati orang lain. Orang mulia budi hidupnya teratur. Orang merasa rugi kalau dia tak ada. Dia menjadi contoh orang banyak tentang hal ketulusan.

Sementara itu kita akan menyoroti pandangan Hamka tentang Kemuliaan Jasa. Mari kita perhatikan pernyataan Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup hal 223:

“Kemuliaan jasa membekaskan sebutan yang mulia, meninggalkan nama yang harum. Sebab asalnya dari kemuliaan diri si berjasa dan melimpah kepada orang lain. Dia lebih tinggi setingkat dari kemuliaan hidup. Sebab kemuliaan hidup tidaklah berapa lama usianya. Dia hilang bersama diri yang empunya. Kemuliaan jasa, kekal dari zaman ke zaman.”
Jika kita renungkan untaian kalimat di atas tentu sangat bermakna. Hamka menyatakan bahwa kemuliaan hidup adalah kemuliaan yang melekat pada budi dan akhlaq. Sebagai ibarat orang yang telah memiliki kemuliaan hidup laksana permata yang indah, dimanapun dia berada dia tetap permata walau di tempat sampah sekalipun. Dia bagaikan magnet yang mampu menarik perhatian dan cinta kasih setiap insan. Kemuliaan hidup adalah buah akhlaq sementara akhlaq adalah bunga tauhid. Maka tak sempurna tauhid seseorang tanpa akhlaq yang mengiringinya.

Kemudian Hamka melanjutkan:

“Kemuliaan jasa terbagi menjadi dua. Pertama adalah jasa lahir yang dapat dilihat, kedua jasa batin yang dapat difikir. Jika dibandingkan diantara kedua jasa ini, maka jasa batin yang dapat difikir, lebih kekal pula dari jasa lahir yang dapat dilihat.”
Untuk memperkuat argumentasinya di atas, Hamka memberikan contoh tentang seorang seorang dermawan yang mendirikan sekolah-sekolah dan seorang pengarang kitab atau guru yang mengajarkan ilmu. Hamka menceritakan Wazir Nizamul Mulk telah mendirikan sekolah-sekolah Islam di seluruh tanah Irak. Imam Ghazali adalah seorang diantara guru yang mengajar disana. Nama Nizamul Mulk, meskipun sampai sekarang tetap dikenal, tapi tidak sekekal ingatan orang kepada Imam Ghazali yang mengarang kitab “Ihya ‘Ulumuddin”. Madrasah di Irak tidak ada lagi, tetapi Ihya masih dibaca orang. Kemudian Hamka mengatakan:
“Jasa lahir meskipun tinggal, namun dia bisa berubah-ubah karena perubahan zaman, atau karena ditambah atau dikurangi oleh anak cucu. Tetapi jasa batin tetap terkenang (Falsafah Hidup hal. 223)”
Subhanallah, adalah suatu yang baik ketika kita mampu menciptakan prestasi berupa artifak-artifak peradaban. Tapi jelaslah bagi kita bahwa membangun manusia, mencipta karya dan pemikiran yang dapat dibaca lintas generasi manfaatnya lebih panjang dari umur penciptanya. Inilah makna hakiki dari panjang umur itu, bahwa pasti orangnya telah wafat dan generasi silih berganti, akan tetapi ia tetap dikenang, ia seakan-akan hidup bersama kita sampai detik ini dan seterusnya.

Jika Hamka menggunakan istilah kemuliaan jasa lahir yang dapat dilihat dan kemuliaan jasa batin yang dapat difikir, maka Rhenald Kasali memakai istilah warisan yang tangible dan intangible. Apapun istilahnya tetap yang dimaksud keduanya tidak jauh berbeda. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa intangible legacy atau jasa batin yang dapat difikir adalah lebih kekal. Ia akan tetap dikenang, membekaskan sebutan yang mulia, meninggalkan nama harum. Sebab legacy dan jasanya melimpah kepada orang lain dan lintas generasi.

Terakhir saya akan kutipkan pernyataan Syaikh Muhammad Abduh dalam Al ‘Urwatul Wutsqo yakni “Kemuliaan ialah kebanggaan jiwa, tujuan perasaan dan pemandangan. Sinar kebanggaan diri itu menimbulkan amal yang meninggalkan bekas yang baik kepada bangsanya dan kaum seagamanya, atau kepada perikemanusiaan seluruhnya”. Sementara Hamka mengatakan bahwa kemuliaan ialah kemuliaan jiwa. Jiwa yang menggeliat melepaskan diri dari kerendahan dan perbudakan, mencari pekerjaan yang berguna.




[1] Buku ini diterbitkan oleh PT Pustaka Panjimas Cetakan I dipublikasikan pada bulan Agustus 1940 dan telah dicetak ulang lebih dari sepuluh kali.

No comments:

Post a Comment