Pada
11 Juni 2013 sekitar pukul 20.00 WIB tidak sengaja saya menonton TVRI. Saya tertarik
karena nama acara tersebut adalah Rumah Perubahan yang diasuh oleh Bapak
Rhenald Kasali. Tidak lama memang saya menonton paling tidak sekitar 10-15
menit pada session 1 sebelum pariwara. Ada beberapa kalimat yang membuat saya
memperhatikannya cukup serius karena mengingatkan saya akan pandangan Buya
Hamka (alm) tentang kemuliaan budi.
Sambil
memegang angklung Pak Rhenald kurang lebih intinya mengajak manusia hari ini
untuk memiliki karya. “Karena setiap generasi memiliki karya, seperti angklung
ini, jangan sampai kita hanya “perantara” yang mewarisi karya generasi sebelum
kita bahkan beberapa generasi sebelum kita”, kata beliau dengan antusias.
Pak
Rhenald juga menyatakan bahwa untuk dikenang manusia kita mesti memiliki
warisan yang tidak hanya bersifat fisik tapi juga “intangible”. Yakni warisan karya
yang tak nampak atau bukan benda. Mendengar statement tersebut terlintas di
benak saya tulisan lawas Ulama Besar Indonesia Almarhum Buya Hamka yang
berjudul “Falsafah Hidup”[1]
yang saya baca beberapa waktu lalu.
Hamka
menulis bahwa kemuliaan itu terbagi dua, yakni kemuliaan hidup dan kemuliaan
jasa. Kemuliaan hidup ialah kemuliaan budi di dalam pergaulan, lantaran pandai
menghormati orang lain. Orang mulia budi hidupnya teratur. Orang merasa rugi
kalau dia tak ada. Dia menjadi contoh orang banyak tentang hal ketulusan.
Sementara
itu kita akan menyoroti pandangan Hamka tentang Kemuliaan Jasa. Mari kita
perhatikan pernyataan Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup hal 223:
“Kemuliaan jasa
membekaskan sebutan yang mulia, meninggalkan nama yang harum. Sebab asalnya
dari kemuliaan diri si berjasa dan melimpah kepada orang lain. Dia lebih tinggi
setingkat dari kemuliaan hidup. Sebab kemuliaan hidup tidaklah berapa lama
usianya. Dia hilang bersama diri yang empunya. Kemuliaan jasa, kekal dari zaman
ke zaman.”
Jika
kita renungkan untaian kalimat di atas tentu sangat bermakna. Hamka menyatakan
bahwa kemuliaan hidup adalah kemuliaan yang melekat pada budi dan akhlaq. Sebagai
ibarat orang yang telah memiliki kemuliaan hidup laksana permata yang indah,
dimanapun dia berada dia tetap permata walau di tempat sampah sekalipun. Dia
bagaikan magnet yang mampu menarik perhatian dan cinta kasih setiap insan. Kemuliaan
hidup adalah buah akhlaq sementara akhlaq adalah bunga tauhid. Maka tak
sempurna tauhid seseorang tanpa akhlaq yang mengiringinya.
Kemudian Hamka
melanjutkan:
“Kemuliaan jasa
terbagi menjadi dua. Pertama adalah jasa lahir yang dapat dilihat, kedua jasa
batin yang dapat difikir. Jika dibandingkan diantara kedua jasa ini, maka jasa
batin yang dapat difikir, lebih kekal pula dari jasa lahir yang dapat dilihat.”
Untuk
memperkuat argumentasinya di atas, Hamka memberikan contoh tentang seorang
seorang dermawan yang mendirikan sekolah-sekolah dan seorang pengarang kitab
atau guru yang mengajarkan ilmu. Hamka menceritakan Wazir Nizamul Mulk telah
mendirikan sekolah-sekolah Islam di seluruh tanah Irak. Imam Ghazali adalah
seorang diantara guru yang mengajar disana. Nama Nizamul Mulk, meskipun sampai
sekarang tetap dikenal, tapi tidak sekekal ingatan orang kepada Imam Ghazali
yang mengarang kitab “Ihya ‘Ulumuddin”. Madrasah di Irak tidak ada lagi, tetapi
Ihya masih dibaca orang. Kemudian Hamka mengatakan:
“Jasa lahir
meskipun tinggal, namun dia bisa berubah-ubah karena perubahan zaman, atau
karena ditambah atau dikurangi oleh anak cucu. Tetapi jasa batin tetap
terkenang (Falsafah Hidup hal. 223)”
Subhanallah,
adalah suatu yang baik ketika kita mampu menciptakan prestasi berupa artifak-artifak peradaban. Tapi jelaslah bagi kita bahwa membangun manusia, mencipta karya dan pemikiran yang dapat dibaca lintas generasi manfaatnya
lebih panjang dari umur penciptanya. Inilah makna hakiki dari panjang umur itu,
bahwa pasti orangnya telah wafat dan generasi silih berganti, akan tetapi ia
tetap dikenang, ia seakan-akan hidup bersama kita sampai detik ini dan
seterusnya.
Jika Hamka menggunakan istilah kemuliaan jasa lahir yang dapat dilihat
dan kemuliaan jasa batin yang dapat
difikir, maka Rhenald Kasali memakai istilah warisan yang tangible dan intangible. Apapun istilahnya tetap yang dimaksud keduanya tidak
jauh berbeda. Maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa intangible legacy atau
jasa batin yang dapat difikir adalah
lebih kekal. Ia akan tetap dikenang, membekaskan sebutan yang mulia,
meninggalkan nama harum. Sebab legacy
dan jasanya melimpah kepada orang lain dan lintas generasi.
Terakhir saya akan kutipkan pernyataan
Syaikh Muhammad Abduh dalam Al ‘Urwatul Wutsqo yakni “Kemuliaan ialah
kebanggaan jiwa, tujuan perasaan dan pemandangan. Sinar kebanggaan diri itu
menimbulkan amal yang meninggalkan bekas yang baik kepada bangsanya dan kaum
seagamanya, atau kepada perikemanusiaan seluruhnya”. Sementara Hamka mengatakan
bahwa kemuliaan ialah kemuliaan jiwa. Jiwa yang menggeliat melepaskan diri dari
kerendahan dan perbudakan, mencari pekerjaan yang berguna.
[1] Buku ini diterbitkan oleh PT
Pustaka Panjimas Cetakan I dipublikasikan pada bulan Agustus 1940 dan telah
dicetak ulang lebih dari sepuluh kali.
No comments:
Post a Comment