Monday, June 17, 2013

Sedikit Menyinggung Persatuan (Wahdatun)


Suatu pagi ada kajian tafsir di Masjid Al Ihsan, sang ustadz menyampaikan tafsir ayat 104-105 surah Ali Imron yang berbunyi sebagai berikut:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat (Ali Imron: 104-105)
Banyak ilmu yang disampaikan oleh beliau, akan tetapi saya tertarik pada penjabaran beliau tetang “jangan bercerai-cerai” dan “berselisih”. Beliau memaparkan bagaimana kondisi persatuan ummat hari ini yang jauh dari panggang dari api. Seakan-akan memang persatuan tidak akan mewujud dalam kehidupan nyata umat hari ini. Kemudian juga disampaikan fenomena partai politik yang menjadikan Islam sebagai dasar dan visi perjuangan. “Seharusnya jika partai-partai itu betul-betul menjadikan Islam sebagai dasar dan visi perjuangannya, maka seharusnya hanya ada satu partai Islam”, singgung beliau. Dalam hal ini beliau jelas mengkritisi fenomena partai-partai Islam hari ini, akan tetapi beliau tetap menyampaikan bahwa politik adalah bagian dari Islam itu sendiri yang tak terpisahkan.

Setelah kajian hampir selesai, maka dibuka sesi tanya jawab. Kesempatan itu saya gunakan untuk bertanya beberapa hal, tapi yang menjadi pertanyaan utama adalah soal persatuan ummat (wihdatul ummah):

“Ada yang mengatakan bahwa apa yang kita sebut persatuan atau wihdatul ummah itu sulit untuk diterapkan, bahkan hanya angan-angan belaka. Itu sebabnya Syaikh Yusuf Qordhowi pun mengatakan bahwa yang dimungkinkan dicapai oleh masing-masing jama’ah-jama’ah kaum muslimin adalah taqoorub (pendekatan) bukan wahdatun (persatuan). Bagaimana pandangan ustadz terhadap pendapat tersebut?”.
Berikut tanggapan beliau atas pertanyaan di atas:

“Bahwa yang dimaksud dengan persatuan bukanlah persatuan umat islam dalam satu jamaah atau satu wadah. Tetapi yang dimaksud adalah persatuan umat dalam dasar dan visi perjuangan. “Persatuan” bukanlah kata kerja (fi’il) atau bukan sebab melainkan akibat dari kerja (infi’al). Artinya orang bisa bersatu karena ada sesuatu yang dapat menyatukannya. Oleh karenanya kerja kita adalah kembali menyeru umat untuk kembali pada Al Quran dan As Sunnah. Karena Alquran dan Sunnah-lah yang dapat menyatukan kita. Ketika muslim kembali pada keduanya, maka mereka akan memiliki pemahaman yang relatif sama. Kalaupun ada perbedaan, maka itu relatif sedikit dalam ranah khilafiah. Dan yang terpenting adalah jangan kita berputus asa terhadap persatuan ummat walau hari ini terlihat kurang memungkinkan”

Jawaban di atas mengingatkan kita untuk kembali pada sebab persatuan yang juga diperintahkan oleh Nabi, yakni kembali pada Kitabullah dan Sunnah-nya. Ketika "sebab" sudah terpenuhi maka insya Allah "akibat" akan datang kemudian. Walaupun jika Allah berkehendak tanpa sebab-pun akibat bisa muncul seketika. Akan tetapi Allah hendak menguji kita siapa yang paling baik amalnya. Demikian sedikit ulasan menyoal persatuan umat. Pertanyaan yang harus kita jawab adalah apakah persatuan atau "wihdatun" itu dapat digapai oleh umat?


Karena keterbatasan waktu, maka diskusi tersebut dicukupkan.  

Thursday, June 13, 2013

Rhenald Kasali menyebutnya “ Warisan yang Intangible ”, Buya Hamka menyebutnya “Jasa Batin Yang Dapat Difikir”



Pada 11 Juni 2013 sekitar pukul 20.00 WIB tidak sengaja saya menonton TVRI. Saya tertarik karena nama acara tersebut adalah Rumah Perubahan yang diasuh oleh Bapak Rhenald Kasali. Tidak lama memang saya menonton paling tidak sekitar 10-15 menit pada session 1 sebelum pariwara. Ada beberapa kalimat yang membuat saya memperhatikannya cukup serius karena mengingatkan saya akan pandangan Buya Hamka (alm) tentang kemuliaan budi.

Sambil memegang angklung Pak Rhenald kurang lebih intinya mengajak manusia hari ini untuk memiliki karya. “Karena setiap generasi memiliki karya, seperti angklung ini, jangan sampai kita hanya “perantara” yang mewarisi karya generasi sebelum kita bahkan beberapa generasi sebelum kita”, kata beliau dengan antusias.

Pak Rhenald juga menyatakan bahwa untuk dikenang manusia kita mesti memiliki warisan yang tidak hanya bersifat fisik tapi juga “intangible”. Yakni warisan karya yang tak nampak atau bukan benda. Mendengar statement tersebut terlintas di benak saya tulisan lawas Ulama Besar Indonesia Almarhum Buya Hamka yang berjudul “Falsafah Hidup”[1] yang saya baca beberapa waktu lalu.

Hamka menulis bahwa kemuliaan itu terbagi dua, yakni kemuliaan hidup dan kemuliaan jasa. Kemuliaan hidup ialah kemuliaan budi di dalam pergaulan, lantaran pandai menghormati orang lain. Orang mulia budi hidupnya teratur. Orang merasa rugi kalau dia tak ada. Dia menjadi contoh orang banyak tentang hal ketulusan.

Sementara itu kita akan menyoroti pandangan Hamka tentang Kemuliaan Jasa. Mari kita perhatikan pernyataan Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup hal 223:

“Kemuliaan jasa membekaskan sebutan yang mulia, meninggalkan nama yang harum. Sebab asalnya dari kemuliaan diri si berjasa dan melimpah kepada orang lain. Dia lebih tinggi setingkat dari kemuliaan hidup. Sebab kemuliaan hidup tidaklah berapa lama usianya. Dia hilang bersama diri yang empunya. Kemuliaan jasa, kekal dari zaman ke zaman.”
Jika kita renungkan untaian kalimat di atas tentu sangat bermakna. Hamka menyatakan bahwa kemuliaan hidup adalah kemuliaan yang melekat pada budi dan akhlaq. Sebagai ibarat orang yang telah memiliki kemuliaan hidup laksana permata yang indah, dimanapun dia berada dia tetap permata walau di tempat sampah sekalipun. Dia bagaikan magnet yang mampu menarik perhatian dan cinta kasih setiap insan. Kemuliaan hidup adalah buah akhlaq sementara akhlaq adalah bunga tauhid. Maka tak sempurna tauhid seseorang tanpa akhlaq yang mengiringinya.

Kemudian Hamka melanjutkan:

“Kemuliaan jasa terbagi menjadi dua. Pertama adalah jasa lahir yang dapat dilihat, kedua jasa batin yang dapat difikir. Jika dibandingkan diantara kedua jasa ini, maka jasa batin yang dapat difikir, lebih kekal pula dari jasa lahir yang dapat dilihat.”
Untuk memperkuat argumentasinya di atas, Hamka memberikan contoh tentang seorang seorang dermawan yang mendirikan sekolah-sekolah dan seorang pengarang kitab atau guru yang mengajarkan ilmu. Hamka menceritakan Wazir Nizamul Mulk telah mendirikan sekolah-sekolah Islam di seluruh tanah Irak. Imam Ghazali adalah seorang diantara guru yang mengajar disana. Nama Nizamul Mulk, meskipun sampai sekarang tetap dikenal, tapi tidak sekekal ingatan orang kepada Imam Ghazali yang mengarang kitab “Ihya ‘Ulumuddin”. Madrasah di Irak tidak ada lagi, tetapi Ihya masih dibaca orang. Kemudian Hamka mengatakan:
“Jasa lahir meskipun tinggal, namun dia bisa berubah-ubah karena perubahan zaman, atau karena ditambah atau dikurangi oleh anak cucu. Tetapi jasa batin tetap terkenang (Falsafah Hidup hal. 223)”
Subhanallah, adalah suatu yang baik ketika kita mampu menciptakan prestasi berupa artifak-artifak peradaban. Tapi jelaslah bagi kita bahwa membangun manusia, mencipta karya dan pemikiran yang dapat dibaca lintas generasi manfaatnya lebih panjang dari umur penciptanya. Inilah makna hakiki dari panjang umur itu, bahwa pasti orangnya telah wafat dan generasi silih berganti, akan tetapi ia tetap dikenang, ia seakan-akan hidup bersama kita sampai detik ini dan seterusnya.

Jika Hamka menggunakan istilah kemuliaan jasa lahir yang dapat dilihat dan kemuliaan jasa batin yang dapat difikir, maka Rhenald Kasali memakai istilah warisan yang tangible dan intangible. Apapun istilahnya tetap yang dimaksud keduanya tidak jauh berbeda. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa intangible legacy atau jasa batin yang dapat difikir adalah lebih kekal. Ia akan tetap dikenang, membekaskan sebutan yang mulia, meninggalkan nama harum. Sebab legacy dan jasanya melimpah kepada orang lain dan lintas generasi.

Terakhir saya akan kutipkan pernyataan Syaikh Muhammad Abduh dalam Al ‘Urwatul Wutsqo yakni “Kemuliaan ialah kebanggaan jiwa, tujuan perasaan dan pemandangan. Sinar kebanggaan diri itu menimbulkan amal yang meninggalkan bekas yang baik kepada bangsanya dan kaum seagamanya, atau kepada perikemanusiaan seluruhnya”. Sementara Hamka mengatakan bahwa kemuliaan ialah kemuliaan jiwa. Jiwa yang menggeliat melepaskan diri dari kerendahan dan perbudakan, mencari pekerjaan yang berguna.




[1] Buku ini diterbitkan oleh PT Pustaka Panjimas Cetakan I dipublikasikan pada bulan Agustus 1940 dan telah dicetak ulang lebih dari sepuluh kali.

Monday, June 3, 2013

Dimanakah Kita Diantara Ketiganya?


Ahad, 2 Juni 2013 bertepatan dengan tanggal 23 Rajab 1434 H, saya diminta untuk menjadi pembicara mengenai “Realita Kehidupan Pasca Sekolah” dalam acara Pemantapan Santri Mu’alimien (PSM) Pesantren PERSIS 109 Kujang, Ciamis, Jawa Barat.

Program PSM ini dilaksanakan dengan maksud sebagai bagian persiapan santri untuk menghadapi dunia pasca sekolah. Program dilaksanakan selama dua hari yang diisi dengan tema diskusi menarik dan aktual.

Walau diminta untuk mengisi tema “Realita Kehidupan Pasca Sekolah”, akan tetapi saya tidak terfokus pada persoalan seputar isu tersebut. Justru saya mulai diskusi tersebut dengan hal yang lebih prinsipil yakni mengenai hakikat.

Diskusi saya mulai dengan bahas mengenai tipologi manusia. Tentu sangat banyak tipe atau karakter manusia di muka bumi ini yang dipengaruhi pada banyak faktor. Akan tetapi setidaknya manusia dapat kita bedakan dalam tiga tipe, yakni:

1.      Tipe ‘”Haywaniyyah”
2.      Tipe “Al Insan ‘Ammah“
3.      Tipe “Al Insan Al Kamil”

Sekilas mungkin pembaca sudah memahami apa maksud dari ketiga tipe manusia tersebut. Marilah kita kupas satu persatu. Manusia tipe pertama adalah haywaniyyah, adalah sosok manusia yang disebut dalam Al Quran dengan pengibaratan yang sangat hina “kal an’am bal hum adhol”. Manusia tipe ini adalah manusia yang memang memiliki mata tapi belum sampai taraf “penglihatan”, mereka juga memiliki telinga tapi belum “pendengaran”, mereka juga memiliki hati tapi belum mencapai tingkat “pemahaman”. Dari sini daat kita fahami bahwa adanya mata, telinga, dan hati secara fisik, tidaklah menjamin seorang manusia dapat melihat, mendengar, dan memahami kebenaran. Itulah sebabnya diutus Nabi dan Rasul kepada suatu kaum untuk membacakan ayat-ayat Allah, mengajarkan kepada mereka kitab, dan menyucikan kaumnya dari segala dosa dan kehinaan. Manusia tipe “haywaniyah” tidaklah ubahnya mereka kecuali seperti binatang bahkan lebih buruk lagi.

Tipe manusia kedua adalah satu tingkat di atas tipe pertama, sebut saja “Al Insan ‘Ammah”. Yakni seorang manusia yang seperti kebanyakan orang pada umumnya. Orientasi hidup dan kehidupannya sangat pendek dan pragmatis. Yang mereka fahami dan yakini bahwa kehidupan hanyalah dunia saja. Soal adanya hari pembalasan, siksa atau nikmat kubur, akhirat, surga, neraka, Tuhan, dan perkara ghaib lainnya tidak pernah terbayang atau kalaupun tahu tetap saja memilih untuk lalai. Mereka melampaui batas atas kesenangan duniawi, padahal akhirat itu lebih baik lagi kekal abadi (wal aakhiratul khoirun wa abqo). Dalam tipe inilah kafirin dan munafiqin memposisikan dirinya.

Terakhir adalah tipe manusia yang disebut sebagai “Al Insan Al Kamil”. Secara bahasa ia dapat diartikan sebagai “manusia paripurna”. Seluruh manusia memang telah diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik penciptaan (ahsani taqwim), akan tetapi tidak banyak manusia yang berhasil memanfaatkan potensi dirinya itu. Sebagaimana juga Allah menciptakan kehebatan otak, namun sedikit sekali manusia yang memaksimalkan potensi otak yang dianugerahkan Allah itu. Dalam dimensi tasawuf, “Al Insan Al Kamil” adalah sosok manusia yang telah mencapai derajat yang tinggi, dimana mereka mengenal hakikat diri dan Tuhan-Nya. Mereka menjadi manusia yang melepaskan dirinya untuk semata-mata mengabdi pada Allah.


Saat ini kita hidup dalam alam dunia, sebelumnya telah kita lewati alam ruh dan rahim ibunda kita masing-masing. Lalu nanti akan kita hadapi, mau tidak mau, alam selanjutnya yakni alam barzakh, alam mahsyar, dan berujung pada dua terminal akhir, surga atau neraka. Ketiga tipe manusia di atas hidup pada dunia yang sama. Disinilah tempat manusia hidup, beramal, diuji, dinilai, yang menentukan derajatnya di alam selanjutnya. Tidak ada pilihan lain yang harus kita pilih sebagai mukmin kecuali untuk berusaha menjadi manusia tipe ketiga, yakni tipe “Al Insan Al Kamil”. Menjadi “Al Insan Al Kamil” tidaklah mudah tapi juga bukan perkara mustahil. Untuk itulah “hidup” dan “mati” diciptakan Allah dan pasti dilalui oleh seluruh manusia, agar Allah mengetahui siapa diantara kita yang paling baik amalnya (Huwa al-ladzii kholaqo al-mauta wa al-hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala)