Monday, April 29, 2013

Memaknai Frase "It Is Better To Light a Candle Than Curse The Darkness"



Jumat lalu bertepatan dengan tanggal 26 April 2013, salah satu tulisan sederhana saya kembali dimuat di Koran Nasional Harian Pelita untuk kali ketiga melalui tangan Ust Fuad Nashar. Kali ini tema yang diangkat adalah seputar “Potret Ideal Amil Zakat” yang intinya menegaskan urgensi dan nilai strategis amil zakat sebagai pengelola cinta muzakki dan mustahiq juga sebagai sahabat spritual umat.

Saya bersyukur pada Allah SWT telah mengenalkan saya dengan Ust Fuad Nashar, sosok bersahaja, ramah, cerdas, dan inspiratif. Pernah suatu ketika saya bicara dengan rekan-rekan mulai dari level Pimpinan hingga OB, kesan mereka terhadapnya sangat positif. Beliau telah menunjukkan bunga dari iman yakni akhlaqul karimah kepada seluruh orang yang dikenalnya tanpa memandang status. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memuja-muji beliau dengan berlebihan, akan tetapi sebagai motivasi untuk diri ini yang masih kerdil dalam iman, ilmu, apalagi amal.

Keinginan untuk menulis memang sudah ada sejak dulu, walaupun hanya terejahwantah dalam beberapa tulisan sederhana baik berupa puisi, prosa, maupun curhatan kisah love story (dibukukan dengan judul Sepotong Episode Cita & Cinta). Keinginan tersebut mulai kembali terasah ketika diri ini sering berkonsultasi dan saling mengirim tulisan (sederhana) kepada Ustadz Fuad. Alhamdulillah respon beliau sangat baik dan berkesan. Sejak itulah saya bertekad membaca untuk menulis, dan menulis untuk mengamalkan. Insya Allah.

Lebih Baik Menyala Lilin Daripada Mengumpat Kegelapan

Jumat pagi itu beliau mengirim pesan singkat “Asskm. Tulisan Farid dimuat di rubrik zakat Harian Pelita Jumat ini. Tks”, setelah itu saya balas “Wslm Wr Wb, maaf ustadz hape sy baru nyalah, alhamdulillah, skrg sy sdg baca Harian Pelita, terimakasih ustadz atas kesempatannya, baarokallahulana.”. Kemudian beliau mengirim pesan balasan. “Sama2, Farid. Terus menulis dan berkarya untuk pencerahan umat. Lebih baik menyala lilin daripada mengumpat kegelapan. Tks.” (26/4/2013).

Setelah rampung membaca tulisan sendiri di Harian Pelita yang sudah diedit oleh Ustadz Fuad, saya kembali membaca pesan singkat dari beliau. Mata saya tertuju pada kalimat “Terus menulis dan berkarya untuk pencerahan umat. Lebih baik menyala lilin daripada mengumpat kegelapan”.

Kalimat atau frase tersebut bukanlah kali pertama saya dengar, akan tetapi pagi itu lintasan fikir saya lebih dalam merenunginya. Kemudian saya langsung berselancar di dunia maya untuk mengetahui lebih jauh makna dari frase itu. Kalimat itu biasa kita dengar dengan aksen Inggris “It is better to light a candle than curse the darkness”

Entah siapa yang mengatakan frase itu untuk kali pertama, yang jelas tercatat dalam www.phares.org.uk bahwa yang pertama kali mengatakannya di depan umum adalah Peter Benenson, seorang pengacara Inggris dan pendiri Amnesty International, pada pada upacara Hari Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1961. Sejak itulah lilin yang dilingkari oleh kawat berduri menjadi simbol masyarakat untuk menggambarkan makna frase tersebut. Namun ada juga yang berpendapat bahwa frase tersebut berasal dari pepatah Cina kuno yang berarti lebih baik untuk melakukan sesuatu tentang masalah daripada hanya mengeluh tentang hal itu. Selanjutnya, lilin adalah jawaban kecil untuk masalah besar, tetapi masih merupakan langkah yang layak dalam arah yang benar, bukan hanya meratapi masalah (kegelapan).

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali menyebut kalimat tersebut atau darimana kalimat itu berasal, yang penting bagi kita adalah mengambil pelajaran darinya. Sebab kebaikan yang ada di alam semesta ini -dimanapun mereka sekarang berada- adalah harta dan hikmah kaum muslimin yang terserak. Harus kita akui bahwa frase tersebut sangat “mengena”. Bahkan ia merupakan sebuah analogi apik yang menggerakkan tidak hanya jiwa dan kesadaran tapi juga melahirkan tindakan positif.

Akan tetapi perlu kita cermati bahwa, tidak semua orang tahu bahwa saat itu sedang “gelap”, bahkan ironinya mereka menyukai “kegelapan”, menganggap “gelap” sebagai hal yang lumrah dan biasa, bahkan mengira bahwa“kegelapan” sebagai “cahaya”. Maka tidak cukup bagi kita untuk sekedar “menyalakan cahaya”, tapi juga menyerukan bahwa “gelap” adalah bertentangan dengan fitrah.

Mungkin sebagian dari kita ada yang berfikiran bahwa ketika kita menyalahkan cahaya maka otomatis manusia tahu bahwa gelap itu bermasalah. Namun sejarah tidak berbicara demikian, Para Nabi alaihi sholah wa salam dalam menyampaikan risalahnya tidak hanya sekedar memancarkan tentang cahaya Ketuhanan, tapi juga mempromosikan, melawan, kegelapan jahiliyah, kebodohan akan Tuhan, menyapu bersih debu-debu kezholiman. Mengatakan dengan tegas mana yang benar dan mana yang salah.

Dalam hal perjuangan kemerdekaan, founding fathers kita juga tidak hanya sekedar menyalakan “lilin kecil”, akan tetapi ia juga menghentakkan kesadaran semu masyarakat akan dampak buruk penjajahan dan menggerakkan fikiran dan tindakan massa untuk bersatu dalam kekuatan. Begitu juga para aktivis reformasi era orde baru, mereka menyadarkan masyarakat, memaparkan fakta-fakta ekonomomi politik bahwa saat itu Indonesia sedang “gelap” dan kemudian menyalakan lilin reformasi.

 Point yang ingin saya angkat adalah bahwa bukan sekedar kita mempromosikan kebaikan tapi juga mengatakan dengan jelas dan lantang bahwa ada sesuatu yang tak beres. Bukankah kita diperintahkan ta’muruuna bil ma’ruuf (mengajak pada kebaikan) berdampingan dengan tanhauna ‘anil munkar (mencegah pada yang munkar)?

Patut juga kita renungkan doa yang mungkin sudah kita hafal dan menjadi wirid pagi dan petang kita, yakni doa:
Allahumma arinal haqqon haqqo, warzuqnattibaa’ah. Wa arinal baathilan baathila, warzuqnajtinaabah” –terjemah bebas- : “Duhai Allah, tunjukkilah kami yang benar itu benar, berikanlah rizki kekuatan pada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkilah kami yang salah itu salah, dan berikanlah kami rizki kemampuan untuk menghancur-leburkannya.





Thursday, April 25, 2013

Ketika Mati, Siapa Yang Beristirahat?


Sebagaimana biasa setiap hari senin diadakan forum pengajian di kantor. Tidak ada yang istimewa, semua berjalan seperti biasanya. Agenda yang tersusun berjalan sesuai dengan rencana. Mulai dari membaca Al Quran hingga pengumuman atau arahan dari Manajemen. Suasana menjadi sedikit berbeda ketika di akhir forum diumumkan bahwa ada seorang sahabat kami mengalami musibah.

“Amilin/Amilat yang dirahmati Allah hari ini kita semua berduka, saudari kita yang menjadi konsultan ISO wafat pagi tadi. Mari kita berdoa dan melakukan sholat ghaib untuk almarhumah. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosanya” begitu bunyi pengumuman yang diinformasikan oleh salah seorang Kepala Divisi kantor kami.

Sontak semua hening dan terdiam, tak luput juga diriku yang duduk paling depan berhadap-hadapan dengan pemberi informasi. Kecuali segelintir orang yang tak mau mengambil pelajaran, yang selalu berbisik-bisik mengganggu kekhusyu’an forum. Yang menjadikan nyeletuk sebagai karakter. Sungguh yang demikian ini tidak diperkenankan, bahkan dilarang oleh agama karena dikhawatirkan akan menyakitkan hati pembicara.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”, kalimat itu keluar dari seluruh mulut yang hadir. Sederhana, tapi semua faham arti kalimat itu. Hampir semua tertunduk mengingat-ingat kesan masing-masing dengan almarhumah. Juga mengingat kelemahan dan kealfaan diri selama ini.

Begitulah orang beriman berucap ketika mereka mendapatkan musibah. Bahwa kalimat istirja’ diperlukan agar kita mengingat bahwa asal dari segala sesuatu adalah Allah dan berpulang kepada-Nya. Seluruh makhluk adalah fana’ sedang baqo’ adalah absolut milik-Nya.

Secara pribadi tidak banyak interaksi yang terjadi dengan almarhumah, hanya sekedar tegur salam dan sapa.  Hanya saja belakangan ini cukup intens berkomunikasi dengan beliau membicarakan perkembangan penyusunan salah satu SOP ISO Divisi yang sedang di revisi.

Forum pagi tadi masih hening seakan tak percaya hal tersebut terjadi, tapi betul bahwa beliau telah dipanggil oleh-Nya. Kesanku pun demikian tersebab kamis lalu masih berinteraksi dengan beliau. Kudatangi ruanganya tepat setelah maghrib kemudian kita berbincang cukup lama hingga isya menjelang. Sempat beberapa kali candaan dan tawa keluar secara spontan dan begitu saja. Bagaimanapun ia muslimah yang bersahaja.

Seyogyanya kebahagiaan selalu meliputi setiap mukmin sekalipun ia dalam kesulitan atau tertimpa musibah. Hal ini tidaklah mengherankan karena Nabi SAW sudah sampaikan bahwa ajaib perangai si mukmin, mereka bersabar ketika mendapat musibah, dan bersyukur jika mendapat anugerah. Walaupun keduanya juga disebut musibah, yakni ujian. Banyak yang berhasil diuji dengan kesulitan, akan tetapi berapa banyak yang gagal diuji dengan kemudahan, begitu juga sebaliknya.

Si mukmin berbahagia karena ia mengetahui dan berbaik sangka pada Allah SWT bahwa setiap buah dari setiap kejadian adalah hikmah. Maka apapun dan siapapun yang dihadapi dijadikan guru dalam sekolah kehidupan yang terus berjalan. Itulah kiranya sekelumit makna ‘ajaban dalam potongan hadits Rasulullah SAW dalam menggambarkan keajaiban dan kemuliaan sifat si mukmin.

Kematian adalah kepastian sebab kekekalan hanyalah milik pencipta kematian itu sendiri, yakni Allah SWT. Kematian adalah suatu nasihat. Jika biasanya nasihat tersampai melalui lisan atau tulisan, maka mati menggunakan cara lain untuk memberi nasihat, yakni dengan diam. Setiap orang yang mendengar atau berta’ziah kepada si mayit pasti selalu berfikir dan ingat kepada Allah, ingat kepada segala amal perbuatan yang telah lalu. Seketika orang mengucap innalillah, tiba-tiba orang-orang mengucapkan kalimat istighfar. Maka mati menjadi pengingat, menjadi penasehat. Itu mengapa Nabi sampaikan bahwa salah satu hak muslim terhadap muslim lainnya adalah berta’ziah jika saudaranya wafat. Hal ini tentu saja bukan sekedar menjalin silaturahmi dan penguatan ukhuwah sesama muslim, tapi merupakan sarana bagi yang masih hidup untuk introspeksi diri.

Ketika seorang manusia lahir maka keluarga dan kerabatnya di dunia tersenyum bergembira sedang si bayi menjerit menangis. Sebaliknya ketika ia wafat seluruh sahabat dan kerabatnya sedih dan menangisinya. Alangkah indahnya jika si mayit tersenyum bahagia karena rekaman amal baik sedang diputar oleh malaikat untuknya. Maka tak heran banyak yang tersenyum di kala menjelang sakaratul mautnya.

Perlu juga direnungi bahwa pada hakikatnya ketika seorang wafat meninggalkan dunia ini maka yang terjadi adalah si mayit yang istirahat dari jahatnya tipuan dan ujian dunia beserta seluruh makhluqnya, atau sebaliknya dunia dan beserta isinyalah yang beristirahat dari kejahatan tangannya. Yang pertamalah yang kita harapkan, semoga Allah SWT melindungi diri kita dari yang kedua.

Thursday, April 4, 2013

Balada Status Quo


Balada Status Quo

Cerita ini adalah fiktif belaka, apabila terdapat persamaan tokoh, tempat, waktu, dan peristiwa, hanyalah suatu kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Di suatu saat dimana hari belum bernama, dimana tanggal belum ditentukan. Kala alam hanya mengenal matahari sebagai “siang” dan bulan purnama sebagai “malam”. Ketika alam begitu berkuasa. Hujan, petir, kilat, angin kadang menjadi harapan, namun seringkali menjadi ancaman dan malapetaka.

Di suatu tempat yang penuh rerimbun pepohonan yang mungkin saat ini tepat dinamai sebagai hutan hiduplah “pemerintahan binatang”. Sekilas mata mereka hidup rukun tentram, dari luar terlihat memiliki kekuatan, akan tetapi sangat rapuh dan rentan di dalam. Tidak ada kodifikasi hukum macam sekarang, yang dihormati dan menjadi ketentuan alam adalah “hukum rimba”. There is no law which respected, meminjam istilah Thomas Hobes homo homini lupus (manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya).

Layaknya sebuah pemerintahan sungguhan, pemerintahan binatang juga memiliki pemimpin. Bentuk pemerintahannya tidak dapat dikategorikan totaliter, tidak juga demokratis. Lebih tepat bentuknya seperti “kerajaan”. Demokrasi berjalan hanya sekedar prosedural untuk mendapat legitimasi kekuasaan. Ironinya, pemerintahan dijalankan bak sebuah yayasan –yang dimiliki dan dikelolah oleh segelintir orang-. Sebetulnya tidak pas juga jika disebut yayasan modern sebab para punggawanya tidak cukup amanah, tidak cukup profesional, juga tidak cukup transparan. 

Roda pemerintahan bergulir dibawah ketiak oligarki kekuasaan yang kadang interest pribadi dan kelompoknya besar. Tentu mereka memiliki undang-undang, namun agak samar, longgar, dan pastinya ada penegakkan hukum, cuma sayang seringkali tajam ke bawah tumpul ke atas. Sebab yang menjalankan hukum adalah sang pembuat hukum. Mereka yang buat, mereka yang jalankan sekaligus yang mengawasi. Lalu muncul pertanyaan “Quis Custodiet Ipsos Custodes?” (siapa yang mengawasi para pengawas?).

Pemerintahan binatang dipimpin oleh seekor Singa, maka ia sering dipanggil Raja Singa. Terdapat beberapa Wazir atau Menteri yang mengurusi berbagai persoalan administratif, mulai dari juru tulis yang sering menulis titah sang raja, penanggung jawab kondisi keuangan, logistik, bagian perikebinatangan.

Seluruh Menteri berasal dari berbagai ragam species walau kadang dari family dan ordo yang sama. Setidaknya mewakili kehidupan perikebinatangan di hutan itu. Ragam tugas manajemen dilaksanakan akan tetapi jika ditelisik dengan jujur nasibnya laa yamutu wa laa yahya (tidak hidup tidak juga mati). Merasa besar di mata sendiri, kecil tak berarti dalam pandangan orang yang memandang.

Sebagai sebuah pemerintahan, mereka memiliki teritori yang berdaulat, rakyat yang diperintah dan pengakuan dari pemerintahan lainnya. Sebagai sunnatullah yang pasti terjadi dimana ada hitam pasti ada putih, ada keadilan disitu pula ada kezholiman. Rapuhnya “manajemen” pemerintahan binatang itu menjadi sorotan beberapa pihak yang memperdulikannya. Sorotan itu sebagian dilatarbelakangi dari perasaan kecewa, sebagian yang lain karena cinta. Yang terakhir ini sebetulnya lebih banyak daripada yang pertama.

Kritisasi terjadi dengan sangat apik, kelebihan dan kekurangan manajemen pemerintahan sudah terbaca dengan terang. Riak-riak reformasi dan perbaikan terus bergaung, kesadaran semu mulai berganti menjadi kesadaran utuh.

Namun memang sejak dari zaman dahulu kala riak-riak itu dapat diredam, kemudian sunyi. Apa sebab? Pemangku jabatan itu sangat lihai dalam memainkan psikologis masa. Modus operandinya beragam, diantaranya menjadikan musuh sebagai teman dekat melalui iming-iming “jabatan” dan “award”, seringkali juga menghembuskan doktrin “sabar” yang disalahartikan, atau pilihan ekstrim lain adalah melakukan pembunuhan karakter (character assasin) atau pembunuhan dalam arti sebenarnya.

Adalah maklum jika regenerasi hanyalah sebatas obrolan, memangku jabatan hingga pensiun adalah “taqdir”. Itu sebab para pemangku jabatan terbius pada zona nyaman. Seringkali menilai ke bawah, namun mungkin para kritikus perlu meminjamkan pecahan cermin untuk mereka berkaca, ya berkaca tentang diri. Perubahan –pada masa yang demikian- itu hanya mungkin terjadi dengan dua hal: kesadaran para pemangku jabatan di “kerajaan” atau ajal yang memisahkan.

Inilah "prosa" abstrakku tentang balada status quo.

Suatu sore di Jakarta