Jumat
lalu bertepatan dengan tanggal 26 April 2013, salah satu tulisan sederhana saya
kembali dimuat di Koran Nasional Harian Pelita untuk kali ketiga melalui tangan
Ust Fuad Nashar. Kali ini tema yang diangkat adalah seputar “Potret Ideal Amil
Zakat” yang intinya menegaskan urgensi dan nilai strategis amil zakat sebagai
pengelola cinta muzakki dan mustahiq juga sebagai sahabat spritual umat.
Saya
bersyukur pada Allah SWT telah mengenalkan saya dengan Ust Fuad Nashar, sosok
bersahaja, ramah, cerdas, dan inspiratif. Pernah suatu ketika saya bicara
dengan rekan-rekan mulai dari level Pimpinan hingga OB, kesan mereka
terhadapnya sangat positif. Beliau telah menunjukkan bunga dari iman yakni akhlaqul karimah kepada seluruh orang
yang dikenalnya tanpa memandang status. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
memuja-muji beliau dengan berlebihan, akan tetapi sebagai motivasi untuk diri
ini yang masih kerdil dalam iman, ilmu, apalagi amal.
Keinginan
untuk menulis memang sudah ada sejak dulu, walaupun hanya terejahwantah dalam
beberapa tulisan sederhana baik berupa puisi, prosa, maupun curhatan kisah love story (dibukukan dengan judul Sepotong Episode Cita & Cinta). Keinginan tersebut
mulai kembali terasah ketika diri ini sering berkonsultasi dan saling mengirim
tulisan (sederhana) kepada Ustadz Fuad. Alhamdulillah
respon beliau sangat baik dan berkesan. Sejak itulah saya bertekad membaca
untuk menulis, dan menulis untuk mengamalkan. Insya Allah.
Lebih Baik Menyala Lilin Daripada
Mengumpat Kegelapan
Jumat
pagi itu beliau mengirim pesan singkat “Asskm.
Tulisan Farid dimuat di rubrik zakat Harian Pelita Jumat ini. Tks”, setelah
itu saya balas “Wslm Wr Wb, maaf ustadz hape
sy baru nyalah, alhamdulillah, skrg sy sdg baca Harian Pelita, terimakasih
ustadz atas kesempatannya, baarokallahulana.”. Kemudian beliau mengirim
pesan balasan. “Sama2, Farid. Terus menulis
dan berkarya untuk pencerahan umat. Lebih baik menyala lilin daripada mengumpat
kegelapan. Tks.” (26/4/2013).
Setelah
rampung membaca tulisan sendiri di Harian Pelita yang sudah diedit oleh Ustadz
Fuad, saya kembali membaca pesan singkat dari beliau. Mata saya tertuju pada
kalimat “Terus menulis dan berkarya untuk
pencerahan umat. Lebih baik menyala lilin daripada mengumpat kegelapan”.
Kalimat
atau frase tersebut bukanlah kali pertama saya dengar, akan tetapi pagi itu
lintasan fikir saya lebih dalam merenunginya. Kemudian saya langsung
berselancar di dunia maya untuk mengetahui lebih jauh makna dari frase itu. Kalimat
itu biasa kita dengar dengan aksen Inggris “It
is better to light a candle than curse the darkness”.
Entah siapa yang
mengatakan frase itu untuk kali pertama, yang jelas tercatat dalam www.phares.org.uk bahwa yang pertama kali
mengatakannya di depan umum adalah Peter Benenson, seorang pengacara Inggris
dan pendiri Amnesty International, pada pada upacara Hari Hak Asasi Manusia
pada 10 Desember 1961. Sejak itulah lilin yang dilingkari oleh kawat berduri
menjadi simbol masyarakat untuk menggambarkan makna frase tersebut. Namun ada
juga yang berpendapat bahwa frase tersebut berasal dari pepatah Cina kuno yang berarti
lebih baik untuk melakukan sesuatu tentang masalah daripada hanya mengeluh
tentang hal itu. Selanjutnya, lilin adalah jawaban kecil untuk masalah besar,
tetapi masih merupakan langkah yang layak dalam arah yang benar, bukan hanya
meratapi masalah (kegelapan).
Terlepas
dari perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali menyebut kalimat
tersebut atau darimana kalimat itu berasal, yang penting bagi kita adalah
mengambil pelajaran darinya. Sebab kebaikan yang ada di alam semesta ini -dimanapun
mereka sekarang berada- adalah harta dan hikmah kaum muslimin yang terserak. Harus
kita akui bahwa frase tersebut sangat “mengena”. Bahkan ia merupakan sebuah
analogi apik yang menggerakkan tidak hanya jiwa dan kesadaran tapi juga
melahirkan tindakan positif.
Akan
tetapi perlu kita cermati bahwa, tidak semua orang tahu bahwa saat itu sedang
“gelap”, bahkan ironinya mereka menyukai “kegelapan”, menganggap “gelap”
sebagai hal yang lumrah dan biasa, bahkan mengira bahwa“kegelapan” sebagai
“cahaya”. Maka tidak cukup bagi kita untuk sekedar “menyalakan cahaya”, tapi
juga menyerukan bahwa “gelap” adalah bertentangan dengan fitrah.
Mungkin
sebagian dari kita ada yang berfikiran bahwa ketika kita menyalahkan cahaya
maka otomatis manusia tahu bahwa gelap itu bermasalah. Namun sejarah tidak
berbicara demikian, Para Nabi alaihi
sholah wa salam dalam menyampaikan risalahnya tidak hanya sekedar
memancarkan tentang cahaya Ketuhanan, tapi juga mempromosikan, melawan,
kegelapan jahiliyah, kebodohan akan Tuhan, menyapu bersih debu-debu kezholiman.
Mengatakan dengan tegas mana yang benar dan mana yang salah.
Dalam
hal perjuangan kemerdekaan, founding
fathers kita juga tidak hanya sekedar menyalakan “lilin kecil”, akan tetapi
ia juga menghentakkan kesadaran semu masyarakat akan dampak buruk penjajahan
dan menggerakkan fikiran dan tindakan massa untuk bersatu dalam kekuatan. Begitu
juga para aktivis reformasi era orde baru, mereka menyadarkan masyarakat,
memaparkan fakta-fakta ekonomomi politik bahwa saat itu Indonesia sedang “gelap”
dan kemudian menyalakan lilin reformasi.
Point yang ingin saya angkat adalah bahwa
bukan sekedar kita mempromosikan kebaikan tapi juga mengatakan dengan jelas dan
lantang bahwa ada sesuatu yang tak beres. Bukankah kita diperintahkan ta’muruuna bil ma’ruuf (mengajak pada
kebaikan) berdampingan dengan tanhauna ‘anil
munkar (mencegah pada yang munkar)?
Patut
juga kita renungkan doa yang mungkin sudah kita hafal dan menjadi wirid pagi dan
petang kita, yakni doa:
“Allahumma arinal haqqon haqqo,
warzuqnattibaa’ah. Wa arinal baathilan baathila, warzuqnajtinaabah” –terjemah
bebas- : “Duhai Allah, tunjukkilah kami yang benar itu benar, berikanlah rizki kekuatan
pada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkilah kami yang salah itu salah, dan
berikanlah kami rizki kemampuan untuk menghancur-leburkannya.