Tuesday, March 19, 2013

Olah Raga, Olah Fikir, Olah Rasa



Pagi ini seorang sahabat sharing mengenai soal pentingnya olahraga dan rekreasi. Sekilas nampak ringan, namun pokok bahasan menjadi menarik dengan bantuan audio visual yang menampilkan beberapa video dari situs youtube. Obrolan itulah yang kemudian men-triger saya menulis risalah singkat ini.

Adalah kewajiban setiap muslim untuk menggunakan akal dan hatinya -dengan bantuan perantara pancaindera- untuk berfikir dan merasa. Maka berfikir, merenung, bahkan membangun dialektika yang logis –baik kepada diri sendiri maupun orang lain- inherent bahkan inti dari maksud ujung beberapa ayat Quran yang berbunyi “afalaa ta’qiluun?” (tidakkah kamu berfikir?).

Memang menjadi suatu kebiasaan bagi diri ini untuk melatih berfikir, maka setiap informasi tidak akan masuk begitu saja dengan mudah. Melainkan ia masuk melalui telinga dan mata, yang diuji pokok pikiran logisnya di dalam kepala, kemudian di akhiri dengan meminta fatwa pada hati nurani. Yang terakhir ini tak kalah lebih penting dari pada proses kedua, bahkan ia menjadi penentu utama suatu informasi atau apapun yang masuk ke dalam kepala untuk diterima, diyakini, dan disebarluaskan. Dalam hal ini hati nurani menjadi panglima, akal jernih menjadi komandan, dan panca indera menjadi prajuritnya. Itu sebab disebut iman tempatnya di hati, ilmu tempatnya di kepala, dan amal adanya pada anggota tubuh.

Sahabat saya itu memaparkan mengenai definisi teoritis dan tahapan praksis mengenai olahraga beserta turunannya. Begitu juga mengenai bagaimana mengolah dan melatih tentang berfikir. Ia sebut “jangan sampai badan kita sehat dengan olahraga, bugar, tapi ciut mengecil dan tidak sehat dalam fikiran”. Dalam hal ini beliau sesungguhnya telah membahas mengenai dua hal: Olah Raga dan Olah Fikir. Akan tetapi mungkin ada yang perlu diperdalam, yakni menyoal “Olah Rasa”.

Mengapa Olah Rasa itu menjadi penting? Rasa atau perasaan itu tempatnya di hati. Jika kita telusuri karya klasik Imam Ghazali seperti Ihya’ ‘ulumuddin atau ringkasannya tazkiyah an-nafs karangan Syaikh Said Hawa menunjukkan perhatian lebih para ulama salaf dan khalaf pada soal hati dan rasa. Maka merasai rasa menjadi perlu dan prioritas dalam dunia yang kian penat dan penuh tipu daya ini. Kiranya dibutuhkan oleh setiap insan yang ingin mengarungi bahtera kehidupan yang luas ini untuk pernah mengecap bangku "sekolah rasa".

Ada baiknya di penutup tulisan singkat ini saya kutip hadits dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Monday, March 18, 2013

Sepenggal Episode Bersama Bapak


Tidak begitu kenal secara dalam, itu harus diakui. Seorang sosok yang dikenal orang sebagai Ustadz penghafal Quran, sebagian orang menyematkan “KH” pada namanya. Gelar itu mungkin pantas dan bahkan sangat layak untuknya. Beliaulah tokoh dan ulama di Kujang, Ciamis, Jawa Barat. Murid dan mustami’ nya sudah ada pula yang menjadi ustadz yang juga penghafal Quran, maka pemahamanku beliau adalah al ‘alamah seorang ‘alim yang melahirkan ‘alim yang lain.

Kali pertama bertemu di sekitar bulan November 2011 ketika diri ini bersilaturahim ke rumahnya. Beliau pakai celana pendek, bertelanjang dada, rambut kurang tersisir rapih, dan sebatang rokok terjepit diantara bibir atas dan bawahnya. Cuek adalah kesan pertama yang muncul ketika melihat mimik wajah dan gestur tubuhnya.

Tak banyak berbicara, tak banyak kata, tapi jelas sorot mata menyirat beliau sosok berwibawa. Yang kemudian terbukti saat kali pertama shalat jama’ah tepat di Masjid kediamannya. Beliau menjadi Imam shalat yang selalu menghadap makmum sebelum takbir pertama dengan sapuan mata membuat suasana menjadi hening dan shaf merapat, tak terkecuali anak-anak.

Berbincang dengan manusia seperti ini membuat canggung bahkan salah tingkah. Tersebab memang tak kenal sebelumnya, tapi interaksi khalayak padanya menggambarkan citra bahwa beliau memang cukup istimewa. Setidaknya di masjid itu.

“Namanya siapa, darimana?” tanyanya dengan singkat. Ku jawab dengan penuh hormat “nama saya Farid, Pak..” sedikit menghela nafas kulanjut “saya dari Jakarta, asli Jakarta”. Beliau lanjut bertanya “Jam berapa dari Jakarta? Naik apa?” ku jawab dengan singkat pula “sekitar jam 8 Pak, naik bus” beliau mengangguk, “ini kali pertama saya jalan jauh naik bus Pak, kali pertama juga ke Ciamis, lumayan jauh juga ya pak..he he” kucoba mencairkan suasana. Kemudian berlanjut dengan obrolan ringan lain.

Menjelang dan setelah maghrib hingga isya adalah waktu khususnya untuk melantunkan ayat suci. Saat dimana beliau menamatkan setidaknya 10 juz Al Quran untuk menjaga hafalan akan keseluruhan ayat-Nya itu. Bacaan memang tidak seperti pada Qori’ yang melantun syahdu ayat -yang bahkan berlebihan dengan memanjangkan mad yang harusnya dibaca 2 menjadi 20 harokat-. Akan tetapi bacaannya tartil, pelan, perlahan, kadang terdiam, mungkin menyimak makna dan mentadabburi ayat demi ayat yang ia baca.

Terkenang pengakuan diri beliau yang tak sengaja berkata dalam obrolan “saya mungkin hampir setiap 3 atau 4 hari khatam Quran untuk menjaga hafalan sebab karena faktor usia sering ada yang terlupa atau terbolak balik susunannya”. Dalam hati merasa tertampar, Allah ingatkan diri bahwa ada yang terlalai selama ini bahkan 1 juz pun jarang tercapai dalam sehari, walaupun dapat dipastikan beberapa halaman dapat terlampaui.

Bicaranya tulus dan terasa tak ada maksud memamerkan diri melainkan hanya sekedar bicara tentang aktivitas rutin harian yang terlalui. Hampir setahun bersamanya walau hampir seluruhnya hanya di akhir pekan. Tapi harus diakui bahwa interaksi kami tak banyak, hampir tak ada ratusan kata –jika dihitung- yang keluar dari dialog kami.

Sebelum shubuh ia terbangun tuk menyungkur sujud dalam peraduan Tuhan-Nya. Mendekati shubuh ia duduk dibangku dalam ruangan khususnya untuk sibuk dengan Quran. Setelah adzan ia sholat sunnah fajr di ruangannya itu, lalu kembali membuka Quran dan membacanya sekitar 50-100 ayat. Kemudian di Masjid terdengar iqomah untuk memanggil dirinya memimpin sholat jama’ah. Setelah sholat ia kembali kerumah, duduk tawajjuh lagi di bangku khusus di dalam ruangannya itu. Kembali ia buka Quran lalu membaca hingga matahari menampakkan batang hidungnya.
Tak lama berselang ia ganti baju bersiap menuju balong (empang) untuk mengurus ikan yang menjadi kegemarannya. Umurnya tidak lagi muda, melihatnya memanggul pacul tak memperlihatkan dirinya telah 68 tahun lalu terlahir di dunia ini.
Setidaknya ada beberapa episode dimana kami berdialog cukup panjang dan cukup berkesan, disitulah dua hal bertemu yakni hikmatusysyuyukh wa hamasatussabab (kebijaksanaan para tetua dan semangatnya pemuda)

Episode “Ngusep”

“Suka ngusep?” tanya beliau padaku, kujawab “uhm..ngusep itu apa Pak?”, berbalas senyum darinya lalu “Mancing!”, “owh mancing, suka Pak tapi ga terlalu hobi, hehe” jawabku. Sabtu pagi beliau panggil santri untuk membelikan kail dan peralatan mancing sederhana lainnya. Kemudian kami turun bersama ke bawah menuju balong yang ditengahnya sebuah gubuk cantik dari kayu. Di kanan kiri banyak kolam yang berisi ragam ikan; gurame, mas, nila, dan kebanyakan mujaer. Kemudian kami menuju gubuk peristirahatan untuk memasang kail dan mencari umpan cacing. Sesekali Bapak menaburkan dedeg (gilingan gabah) ke dalam kolam untuk mengundang ikan muncul ke permukaan.

Ternyata beliau dapat informasi bahwa aku hobi mancing, dan karena mengira aku pemalu maka ia tawarkan lebih dulu ajakan memancing. “Laukna alit” kata beliau dalam bahasa sunda yang artinya “ikannya kecil-kecil”, karena memang beberapa pekan sebelumnya sudah di panen. Cukup gesit dan cepat beliau menarik pancingan, sedang ku tidak banyak bergerak karena mempelajari terlebih dahulu seluk beluk balong. Semua hasil pancingan di taruh dalam ember yang berisi sedikit air daun singkong. Kira-kira hanya 10% dari total ikan di ember hasil pancinganku, sisanya milik Bapak. Dari sini kupetik hikmah bahwa beliau menjalankan perintah Nabi SAW yang menyebut hendaklah setiap mukmin yang beriman pada Allah SWT dan hari akhir hendaknya menghormati tetamunya (fal yukrim jaarohu).

Episode “Khutbah”

Selain mengisi kelas tafsir di Pesantren, beliau juga mengisi banyak majelis pengajian rutin Quran dan Sunnah mulai dari sekitar Tasik, Ciamis, Banjar, Cilacap, Bandung, hingga Banten. Diantaranya juga mengisi khutbah jumat di berbagai Masjid. Alhamdulillah Allah beri kesempatan 3 kali mengikuti khutbah jumat beliau. Tiada yang keluar dari lisannya saat menjadi khatib kecuali kumpulan ayat dan hadits serta tafsiran para ulama akan keduanya. Ini sesuai dengan perkataannya padaku bahwa “jika kita menjelaskan atau ditanya, maka cukupkan diri dengan Qola Allah, Qola Rasul, atau bilang saya tidak tahu” yang bermakna bahwa hendaklah setiap diri menjadikan Quran dan Sunnah jadi panduan.

Mimik wajahnya datar, sorot mata tajam, penyampaiannya sistematis dan tersusun rapih. Penyampaian khutbah agak lama tapi hampir tiada pendengar tertunduk dan memejamkan mata. Karena memang kata yang keluar dari lidah ulama merasuk ke hati, cerah wajah menambah pikatan mata untuk tetap menatapnya. Ada benar orang yang mengatakan bahwa menatap wajah ulama itu meneduhkan bahkan mengingatkan kita akan Tuhan.

Beberapa saat setelah sholat jumat selesai kita makan bersama DKM Masjid, lalu ada yang bertanya mengapa beliau memakai bahasa Indonesia dalam khutbahnya. Lalu sambil makan nasi liwet beliau menjawab hanya sambil menunjuk diriku ini “dia tidak bisa mengerti bahasa sunda”, semua yang sedang makan tersenyum dan mengangguk-angguk.

Sontak lantunan tasbih “subhanallah” keluar dari mulutku. Tak terpikir bahwa ternyata selama ini beliau khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia agar diri ini mengerti dan memahami maksud kajian secara sempurna.

Telah kutulis dan kuingat isi khutbahnya, sebagian sudah kusampaikan pada beberapa kesempatan pengajian. Tiada harapan kecuali agar itu menjadi salah satu amal jariyah beliau yang tak terputus hingga kiamat kelak.

Episode “Sekilas tentang PERSIS & MASJUMI”

Senin sore ku duduk diatas bangku kayu di teras depan rumahnya, secangkir teh hangat dan buku “PERSIS, Gerakan Islam Fundamental” terletak di atas meja marmer. Tepat diseberang rumah, seorang ustadz di Masjid sedang mengisi kajian rutin muslimah.
Kemudian ku baca buku tersebut yang memang sengaja dibawa dari Jakarta menjadi bacaan ringan perjalanan menuju Ciamis. Kuteruskan baca sampai halaman yang membahas mengenai peran gerakan tokoh-tokoh PERSIS dalam MASJUMI diantara sekilas membahas Moh. Natsir, Hassan Bandung, Isa Anshari, dan lain-lain yang merupakan ulama sekaligus politisi muslim.

Tiba-tiba beliau duduk di sebelahku, memakai kain dan kaos oblong santainya sambil memegang rokok. Lalu aku masuk ke dalam sebentar mengambil air, dan ternyata buku itu sedang dibaca olehnya. Ia tanya “buku siapa ini?” kujawab “buku saya Pak, baru beli onlinei bersama buku-buku langka lainnya”. Ia tersenyum lalu bercerita banyak tentang PERSIS dan MASJUMI, tak lupa sebatang rokok melekat di bibirnya.

Sebagaimana kita tahu bahwa Masjumi adalah partai pertama yang dibangun oleh seluruh kelompok umat islam di Indonesia. Seluruh ormas Islam bersepakat menjadikan MASJUMI sebagai kendaraan politik untuk merealisasikan agenda umat. Salah satu pemimpin populer baik oleh kawan maupun lawan adalah Moh. Natsir dari PERSIS. Beliau adalah murid Hassan Bandung yang terkenal ahli berdedat itu.

Bapak cerita banyak hal, suatu hal yang sangat jarang, karena biasanya hampir tidak berkata-kata. Alhamdulillah hobi membaca membantuku mengimbangi obrolan itu dan membuatnya makin antusias berdiskusi. Hingga ia sebut bahwa nama putera ketiganya itu diambil dari nama tokoh MASJUMI Jawa Barat yang sangat keras berseberangan dengan kelompok nasionalis sekuler pada masa pembentukan negara ini, yakni Isa Anshari. Tahulah aku bahwa nama anaknya yang juga penghafal Quran itu terinspirasi dari tokoh besar MASJUMI.

Episode “Mitsaqan Ghalizha”

Seluruh keluarga telah hadir, para undangan dan tamu sudah ada yang berdatangan sejak pagi. 25 Maret 2012 adalah saat dimana beliau menjadi saksi pernikahanku. Prosesi menuju akad dimulai dengan hikmat. Setelah khutbah nikah disampaikan di atas mimbar oleh Prof. Maman Abdurrakhman (Ketua Umum PERSIS), pembawa acara melanjutkan acara “marilah kita lanjut pada acara inti yaitu akad nikah yang akan dipimpin langsung oleh Bapak KH. M. Udin Saepudin”. Degub di dada makin menjadi, tak terbayang suatu hal yang sering dibicarakan kini tinggal menunggu hitungan menit. Bapak memulainya dengan memberi taushiyah dan hikmah pernikahan. Bapak mulai dengan muqoddimah ayat Quran dan Hadits, lalu untaian nasihatnya ku perhatikan betul keluar dari sela-sela giginya. Jenggotnya yang putih memanjang menambah kewibawaan dirinya.

“Saya meminta, anak saya ini jangan hanya di kasih makan, di kasih perhiasan, dikasih rumah, tapi yang lebih penting diberi asupan ruhani, senantiasa dibimbing dan diajari. Karena jika anak sholih maka orang tua menuai pahala, sebaliknya jika anak ingkar maka orang tua punya tanggung jawab terhadapnya”

Begitu sedikit penggalan butiran hikmah Bapak yang tertancap di hati. Kulihat matanya berkaca-kaca saat menyampaikan nasihat kepada calon anaknya, aku. Begitu berat nampaknya ia melepas anak perempuan satu-satunya. Tersirat pesan kuat pada wajahnya “jaga anakku sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.

Kupikir yang menikahkan adalah penghulu, ternyata prosesi akad langsung dipimpin Bapak, sedang penghulu hanya duduk menyaksikan di kiri Bapak. Hadirin makin maju padat kedepan, sorotan kamera siap menuju tepat dihadapan.

Bapak langsung menjulurkan tangan kanannya, kemudian kusambut dengan dengan tangan kanan pula. Jemariku menelengkup jemarinya, kuat tergenggam. Sementara di kening mulai basah oleh keringat tanda kugugupan datang. Tak lama berselang dengan tegas bapak mengucap:

“Bismillaahirrahmaanirraahiim...Farid, Aku kawinkan engkau, aku nikahkan engkau dengan anakku Nisa Fauziah”, sontak kujawab “Saya terima nikah dan kawinnya Nisa Fauziah binti KH Saefudin dengan mas kawin tunai!”, sesaat setelah itu Prof Maman sebagai saksi berteriak “Sah!” kemudian hadirin bergemuruh “Sahhhhhh!!!” Alhamdulillah.... terdengar kuat tersampai doa “Baarokallah laka wa baroka ‘alaikuma wa jama’ah bainakuma fi khoir”.

Penutup

Ya, beliau adalah mertuaku sendiri, almarhum KH M. Udin Saepudin. Tak lama memang berinteraksi dengan beliau, tapi adalah benar bahwa hati itu ibarat prajurit, ia akan bergabung dengan hati yang memiliki frekuensi yang sama.

Beliau mengajarkan bahwa cinta tak harus banyak berkata, bahwa perhatian tak harus disampaikan, bahwa nasihat tak harus disampaikan lewat lisan dan tulisan akan tetapi dengan diam dan tauladan.

Duhai Bapak engkau kembali ke hadirat-Nya 25 Februari 2012, setahun kurang lebih berinteraksi. Dan yang paling membuatku bahagia adalah bahwa anakku telah lahir dari rahim anak perempuan tunggalmu dan sempat merasakan peluk dan doamu, bahkan engkau pula yang mengusulkan nama Omar padanya. Semoga Omar kelak mewarisi keshalihanmu.

Ya Allah, jadikanlah kuburnya sebagai taman dari taman-taman surga, ampuni, rahmati, berkahi Ya Robb.Pertemukanlah kami semua di surga Firdaus-Mu.

Thursday, March 14, 2013

“Bahagia itu Nisbi?!”



Hamka, dalam bukunya “Pandangan Hidup Muslim” (Pustaka Dini, 2010:82) mengatakan bahwa Perasaan adalah garam hidup. Dengan perasaan manusia merenung, mencari ketenangan dalam pergolakan. Menampak bahagia dalam sengsara. Menampak jernihnya masa depan dalam keruhnya yang sekarang. Imbangan nada tinggi melengking dengan nada rendah mengendur, itulah dia musik dari kehidupan. Ia disebut bahagia oleh orang Indonesia, as-sa’adah dalam bahasa Arab, happiness kata orang Barat. Nampaknya kata inilah yang sering dicari manusia dengan segenap akal dan hatinya bahkan mungkin juga binatang dengan instingnya dalam kehidupan. Suatu perasaan nyaman dan hamparan kelegaan dalam jiwa dan fikiran.  

Siapapun manusia, dimanapun ia tinggal, kapanpun mereka hidup, jika ditelisik, kata itulah yang coba diraihnya kemudian diberinya kepada orang-orang yang mereka sayangi. Namun sayang banyak diantara mereka yang berusaha merumuskan bahagia dan mencari formula untuk mendapatkannya, tapi berujung pada kesengsaraan bukan kebahagiaan. Biasanya mereka itulah yang terlena kemudian terjerembab dalam perangkap jebakan kebahagiaan semu duniawiah. 

Prof Zakiah Daradjat[1] dalam bukunya yang berjudul “Kebahagiaan” halaman 9 menyebutkan bahwa bahagia dan kebahagiaan adalah yang dituju oleh setiap manusia dan ukuran bahagia sangat relatif karena setiap orang mempunyai batasan yang berbeda-beda.

“Sejak zaman dahulu kala, barangkali sejak dunia terkembang, sejak manusia ada di muka bumi ini, bahagia atau kebahagiaan itu selalu di dambakan atau dicari oleh setiap insan, sampai sekarang ini di zaman kemajuan yang telah meningkat, sebagaimana yang telah kita rasakan bersama, kebahagiaan itu masih tetap dicari. Rupanya terlalu sulit untuk mendapatkannya....Tiap orang mungkin mempunyai batasan sendiri, sehingga sukar menentukannya secara pasti”

Teringatku saat ijtima’i di Markas Jama’ah Tabligh Indonesia ketika seorang Syaikh dari Pakistan yang ku tak tahu siapa namanya memberi bayan nasihat tentang agama. Ia berbicara dengan bahasa urdu yang diartikan oleh seorang penerjemah kalimat demi kalimat. Terkenang ia memaparkan soal bahagia dan kebahagiaan yang sejati. 

Syaikh itu berkata bahwa setiap insan di muka bumi pasti mencari yang namanya bahagia dan kebahagiaan. Sebagian mereka mengira bahwa kebahagiaan itu berasal dari harta kekayaan, karenanya ia cari berbagai macam cara untuk mendapatkan kekayaan tak lagi peduli soal halal dan haram. Sebagian lagi mengatakan bahwa kebahagiaan itu berasal dari pangkat kedudukan dan jabatan, lalu mereka berlomba-lomba untuk mendapatkannya dengan beragam cara pula. Pandangan itu muncul lantaran mereka terfokus melihat zhohir dan mengabaikan sisi bathin. Terbiasa melihat sisi luar dan permukaan.

Kemudian Syaikh itu melanjut mengkritisi pemahaman dua golongan manusia tadi. Yang pertama menisbatkan bahagia pada harta, dan yang lainnya pada pangkat kedudukan dan jabatan. Tidakkah kita ingat bahwa Allah itu Maha Adil (al ‘Adl)? Jika Allah memiliki asma’ dan sifat Al ‘Adl maka tidak mungkin ia berbuat sebaliknya, yakni zholim. Dengan intonasi meninggi Syaikh itu berkata “Maka tidak mungkin bagi Allah meletakkan bahagia dan kebahagaiaan pada harta kekayaan atau pangkat kedudukan dan jabatan. Kenapa? Karena tidak semua orang memiliki harta dan jabatan. Jika Allah meletakkan kebahagiaan dalam harta dan kedudukan, maka Allah tidak adil terhadap si miskin nan papa. Bagaimana mungkin mereka bisa merasakan kebahagiaan padahal mereka tidak memiliki apa-apa? Dan ini tidaklah mungkin, mustahil bagi Allah.”

Sebelum ditanya, Syaikh tersebut kembali meneruskan bayan nasihatnya “lalu dimana Allah letakkan bahagia dan kebahagiaan itu?” hadirin terdiam dan makin serius menyimak bayan dengan tawajjuh, ia lanjut “Allah letakkan bahagia dan kebahagiaan itu dalam pengilmuan dan pengamalan agama. Bahagia Allah letakkan dalam pengilmuan dan pengamalan Al Quran dan Sunnah sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan generasi terbaik ummat ini, yakni generasi Rasulullah SAW, para Sahabat r.anhum ajma’in dan para pengikutnya (tabi’in dan tabiut tabi’in)”

Dengan penuh ghiroh Syaikh mengatakan bahwa “siapapun Anda, darimana pun Anda berasal, kapanpun Anda hidup, Anda akan mendapatkan kebahagiaan yang tak semu, kebahagiaan yang hakiki hanya dengan mengikuti Allah dan Rasulnya.” Sontak hadirin yang hadir mengucapkan “Masya Allah...” “Subahanallah...”. kemudian Syaikh mengingatkan muslimin Indonesia “Ingatlah bahwa kejayaan, kemuliaan dan kebahagiaan hanya dapat kita raih dengan mengikuti petunjuk baginda Muhammad SAW”.

Kekayaan manusia bukanlah ukuran gedung dan mobilnya. Nilai umur dan nilai hidup ditentukan oleh halus-kasarnya perasaan melihat keindahan-keindahan yang ada di sekeliling kita.
(Pandangan Hidup Muslim, Pustaka Dini 2012:83)

Nasihat dalam bayan Syaikh tadi sangat logis dan beralasan. Mungkin kita pernah merasa gembira, merasa bahagia yang bukan karena perkara yang disebutkan Syaikh tadi, tapi coba ingat apakah kegembiraan dan kebahagiaan itu abadi? Bahkan mungkin pegiat maksiat pun merasa gembira atas perilakunya sebagai misal seorang pezinah yang mungkin merasa senang ketika berzinah, tapi yakinlah kebahagiaan mereka adalah semu dan hanya fatamorgana. Malah fakta berbicara setelahnya ada kesusahan yang menghadang baik berupa sakit atau kesempitan hidup lainnya. Apa ini yang kita namakan kebahagiaan?

Seorang ulama besar Indonesia, Buya Hamka Allahu yarham, memulai buku Tasawuf Modern-nya yang terkenal itu dengan mencari definisi bahagia. Latar waktu penulisan buku tersebut pada saat Perang Dunia I dimana kehancuran dunia dan peradaban manusia berada pada titik nadirnya, lantaran keserakahan dan kepongahan segelintir orang dan bangsa. Buya Hamka menceritakan sebuah kisah tentang manusia yang selalu mencari hakikat kebahagiaan. Hamka sebut bahwa masalah utama manusia modern adalah sering salah kaprah dalam mendefinisikan bahagia karena pengaruh faham materi (materialisme), suatu faham yang menilai segala sesuatunya hanya dengan materi. Maka dunia kini makin materialistik. Bahkan ia sebut bahwa hal tersebut adalah bentuk kejahiliyaan modern. Kalau dahulu jahiliyah Quraisy menyembah materi yang mereka buat sendiri berbentuk berhala, maka manusia modern juga telah menyembah materi yang tak lain dan bukan adalah kreasi mereka sendiri. Manusia saat ini menyembah uang, mengelu-elukan teknologi melebihi dari yang sepantasnya. Mereka menjadikan uang sebagai Tuhan. Lalu apa yang terjadi? Manusia kini merasa terancam atas materi kreasinya sendiri yang diberi nama nuklir.

Biarlah para pakar berdebat tentang definisi bahagia, tulisan ini tak membahas beragam definisi itu. Biarlah bebas setiap insan baik dibarat maupun timur memformulasi makna bahagia itu. Tapi sebagai mukmin cukuplah petunjuk Allah dan Rasulnya menjadi panduan untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Bukankah Nabi pernah bersabda bahwa telah Ia tinggalkan dua perkara yang apabila kita berpegang teguh padanya kita dijamin takkan tersesat selamanya? Kedua perkara itu adalah Kitabullah dan Sunnah Nabinya.

Ada baiknya kami kutip kembali beberapa ayat Al Quran yang disebut Prof Zakiah Daradjat dalam tulisan ini sebagai tadzkiroh bagi setiap kita yang mencari kebahagaiaan.
Al Munafiqun: 9
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi
Ash Shaf:10-11
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Al Hadid: 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Ar Ra’du: 28-29
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.

Dalam penutup bukunya Prof Zakiah Daradjat mengatakan “Marilah kita patrikan dalam hati ungkapan berikut ini: Bagiku kebahagiaan, adalah keridhoan Allah. Semoga Allah melimpahkan karuniaNya kepada semua hambaNya. Amin ya Rabbal ‘Alamin”
Maka Anda dapat menyimpulkan apakah Bahagia itu Nisbi? Atau memang Bahagia itu Nisbi!

Semoga lelah selalu mengikuti disaat kami mencari yang "semu". Sedang kuatnya hasrat selalu memancar di kala kami menuju yang "hakiki". Wahai pemilik Thursina! Hiasi pandangan kami dengan cahaya agar memahami hakikatMu



[1] Seorang tokoh perempuan muslim Indonesia yang diakui kepakarannya dalam ilmu jiwa. Belum lama beliau meninggalkan kita tepatnya 15 Januari 2013 akan tetapi karya-karyanya tetap memesona dan membangun jiwa.

Thursday, March 7, 2013

Kau

Tentang Matahari, dia mencerahkan
Tentang Purnama, dia menentramkan
Tentang Gunung, dia meneguhkan
Tentang Samudra, dia meneduhkan
Tentang Kau: Mencerahkan, Menentramkan, Meneguhkan, Meneduhkan, Kuharap.

Menjadi

seorang bocah seloroh berkata:
"aku mau itu, aku mau ini"

seorang remaja bergumam di depan cermin:
"aku pantas jadi dia, aku idola"

seorang dewasa berkata:
"aku sudah "menjadi" "

seorang rentah merenung:
"aku sudah mau, terlanjur "menjadi"
tapi ta pernah pantas, tak pernah memantas"

Usik


Hingar bingar kadang melenakan
tapi hati-hati dengan sunyi dan kesepian
ia sering menusuk, mencukil lebih dalam

kemarin,
hari ini,
esok,

semua sama, sama semua
tak beda, tak berubah
tentang pengulangan dan pengulangan
sepeti HAMKA dalam tasauf modern-nya:
"sejarah hidup ini; bukanlah soal BENAR atau SALAH, tapi soal MENANG dan KALAH"

lagi kutemui bongkahan kebencian
benci muncul dari ketidaktahuan alias kesoktahuan


#Hijab @faridseptian

Tidak peduli bentuk dan ragam warnanya, model Turkikah? Saudikah? Chinakah? Eropakah? Atau Indonesia? Semua ada konteks pembenarannya #hijab

Berbahagialah duhai kalian para perempuan yg bersusah payah mengenakan hijab diantara telanjangnya dunia #hijab

Tiadalah pembuat mesin, menginginkan rusaknya mesin yg ia ciptakan, mk ia buat semacam "aturan pakai" / "petunjuk penggunaan" #hijab

Dan untuk ciptaan Nya yg bernama perempuan ia beri aturan utk mengenakan hijab, menutup lekuk indah dr picingan sorot mata yg jahat #hijab

Agar ia (perempuan) tdk rusak baik baik yg disebabkan o/ diri atau org lain atasnya, krn hijab sungguh menjaga diri pemakainya #hijab

Tdk usah mrs suci siapapun yg mngenakan hijab, krn ia adalah standar minimal perempuan yg tlah bersyahadat #hijab

Tapi wajiblah merasa kurang siapapun yg belum mengenakannya, knp? Krn kalian tak mengikuti anjuran "aturan pakai" yg tersemat #hijab

Karena sungguh, secantik apapun kalian, belumlah cukup cantik, jk tak berbalut kain yg menutup kepala dan dada kalian, menurutku. #hijab

Namun #hijab bukanlah skedar mode dan alasan utk menambah kcantikan, jauh dr itu ia adalah simbol ketertundukan diri akan aturan Tuhan

Karena cantik, mode, fashionable, dll itu pasti di dapat, sebab syariat pasti selalu modern #hijab

Anak kecil: "Mah, liat bajuku, modernkan? I Ibu: modern? Apa baju "you can se" mu itu yg di bilang modern?I anak: "iyalah mah, sexy"

Ibu:"berarti orang2 pedalaman yg tak pernah sekolah dan belum kenal peradabn adalah org paling modern"I anak: "Ibu tak mengerti mode",hening

Lupakah kita akan Tauhid al asma' al husna, Bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik yg tersurat dalam wahyu Nya? #hijab

Ingat akan "al 'adl ", bahwa Allah_adalah Maha Adil? Yg tak mungkin bersifat sebaliknya, zholim #hijab

Dimana bahagia itu? Kekayaan? Bukan! Jk begitu Allah tak adil pada si miskin #hijab

Dimana bahagia itu? PangkatJabatan? Bukan! Jika begtu Allah tak adil pada si lemah tak berkuasa #hijab

Dimana bahagia itu? Cantik dan Tampan elok rupa? Bukan! Jk begitu Allah tak adil pada si buruk rupa #hijab

Jikapun kita bahagia dari ketiga itu atau yg lainnya, maka percayalah itu bahagia semu nan menipu, tak berbekas kecuali kerugian #hijab

Lantas dimana bahagia itu? #hijab

Ia (bahagia) yg hakiki hanya didapat pada pengilmuan dan pengamalan agama secara sempurna yg disertai mujahadah #hijab

Jika kalian duhai perempuan meyakini bahwa #hijab adalah perintah Tuhan, seharusnya kau juga yakin ia pasti mengantar pada bahagia, ya bahagia jiwa

Jadi pilihlah duhai yg belum sempat ber #hijab  cobalah kau pakai di depan cerminmu, ala Turkikah, Eropakah, Saudikah, atau gayamu sendiri

Agar rambut dan sekitar dadamu tak menuntutmu di hari dimana mulut tak lagi berkata #hijab