Tidak
begitu kenal secara dalam, itu harus diakui. Seorang sosok yang dikenal orang sebagai
Ustadz penghafal Quran, sebagian orang menyematkan “KH” pada namanya. Gelar itu
mungkin pantas dan bahkan sangat layak untuknya. Beliaulah tokoh dan ulama di
Kujang, Ciamis, Jawa Barat. Murid dan mustami’
nya sudah ada pula yang menjadi ustadz yang juga penghafal Quran, maka
pemahamanku beliau adalah al ‘alamah seorang
‘alim yang melahirkan ‘alim yang lain.
Kali
pertama bertemu di sekitar bulan November 2011 ketika diri ini bersilaturahim
ke rumahnya. Beliau pakai celana pendek, bertelanjang dada, rambut kurang
tersisir rapih, dan sebatang rokok terjepit diantara bibir atas dan bawahnya. Cuek adalah kesan pertama yang muncul
ketika melihat mimik wajah dan gestur tubuhnya.
Tak
banyak berbicara, tak banyak kata, tapi jelas sorot mata menyirat beliau sosok
berwibawa. Yang kemudian terbukti saat kali pertama shalat jama’ah tepat di
Masjid kediamannya. Beliau menjadi Imam shalat yang selalu menghadap makmum
sebelum takbir pertama dengan sapuan mata membuat suasana menjadi hening dan
shaf merapat, tak terkecuali anak-anak.
Berbincang
dengan manusia seperti ini membuat canggung bahkan salah tingkah. Tersebab
memang tak kenal sebelumnya, tapi interaksi khalayak padanya menggambarkan citra
bahwa beliau memang cukup istimewa. Setidaknya di masjid itu.
“Namanya
siapa, darimana?” tanyanya dengan singkat. Ku jawab dengan penuh hormat “nama
saya Farid, Pak..” sedikit menghela nafas kulanjut “saya dari Jakarta, asli
Jakarta”. Beliau lanjut bertanya “Jam berapa dari Jakarta? Naik apa?” ku jawab
dengan singkat pula “sekitar jam 8 Pak, naik bus” beliau mengangguk, “ini kali
pertama saya jalan jauh naik bus Pak, kali pertama juga ke Ciamis, lumayan jauh
juga ya pak..he he” kucoba mencairkan suasana. Kemudian berlanjut dengan
obrolan ringan lain.
Menjelang
dan setelah maghrib hingga isya adalah waktu khususnya untuk melantunkan ayat
suci. Saat dimana beliau menamatkan setidaknya 10 juz Al Quran untuk menjaga
hafalan akan keseluruhan ayat-Nya itu. Bacaan memang tidak seperti pada Qori’
yang melantun syahdu ayat -yang bahkan berlebihan dengan memanjangkan mad yang harusnya dibaca 2 menjadi 20
harokat-. Akan tetapi bacaannya tartil, pelan, perlahan, kadang terdiam,
mungkin menyimak makna dan mentadabburi ayat demi ayat yang ia baca.
Terkenang
pengakuan diri beliau yang tak sengaja berkata dalam obrolan “saya mungkin
hampir setiap 3 atau 4 hari khatam Quran untuk menjaga hafalan sebab karena
faktor usia sering ada yang terlupa atau terbolak balik susunannya”. Dalam hati
merasa tertampar, Allah ingatkan diri bahwa ada yang terlalai selama ini bahkan
1 juz pun jarang tercapai dalam sehari, walaupun dapat dipastikan beberapa
halaman dapat terlampaui.
Bicaranya
tulus dan terasa tak ada maksud memamerkan diri melainkan hanya sekedar bicara
tentang aktivitas rutin harian yang terlalui. Hampir setahun bersamanya walau hampir
seluruhnya hanya di akhir pekan. Tapi harus diakui bahwa interaksi kami tak banyak,
hampir tak ada ratusan kata –jika dihitung- yang keluar dari dialog kami.
Sebelum
shubuh ia terbangun tuk menyungkur sujud dalam peraduan Tuhan-Nya. Mendekati
shubuh ia duduk dibangku dalam ruangan khususnya untuk sibuk dengan Quran.
Setelah adzan ia sholat sunnah fajr di ruangannya itu, lalu kembali membuka
Quran dan membacanya sekitar 50-100 ayat. Kemudian di Masjid terdengar iqomah untuk memanggil dirinya memimpin
sholat jama’ah. Setelah sholat ia kembali kerumah, duduk tawajjuh lagi di bangku khusus di dalam ruangannya itu. Kembali ia
buka Quran lalu membaca hingga matahari menampakkan batang hidungnya.
Tak
lama berselang ia ganti baju bersiap menuju balong
(empang) untuk mengurus ikan yang menjadi kegemarannya. Umurnya tidak lagi
muda, melihatnya memanggul pacul tak memperlihatkan dirinya telah 68 tahun lalu
terlahir di dunia ini.
Setidaknya
ada beberapa episode dimana kami berdialog cukup panjang dan cukup berkesan, disitulah
dua hal bertemu yakni hikmatusysyuyukh wa
hamasatussabab (kebijaksanaan para tetua dan semangatnya pemuda)
Episode “Ngusep”
“Suka
ngusep?” tanya beliau padaku, kujawab
“uhm..ngusep itu apa Pak?”, berbalas
senyum darinya lalu “Mancing!”, “owh mancing, suka Pak tapi ga terlalu hobi,
hehe” jawabku. Sabtu pagi beliau panggil santri untuk membelikan kail dan
peralatan mancing sederhana lainnya. Kemudian kami turun bersama ke bawah
menuju balong yang ditengahnya sebuah
gubuk cantik dari kayu. Di kanan kiri banyak kolam yang berisi ragam ikan;
gurame, mas, nila, dan kebanyakan mujaer. Kemudian kami menuju gubuk
peristirahatan untuk memasang kail dan mencari umpan cacing. Sesekali Bapak
menaburkan dedeg (gilingan gabah) ke
dalam kolam untuk mengundang ikan muncul ke permukaan.
Ternyata
beliau dapat informasi bahwa aku hobi mancing, dan karena mengira aku pemalu
maka ia tawarkan lebih dulu ajakan memancing. “Laukna alit” kata beliau dalam
bahasa sunda yang artinya “ikannya kecil-kecil”, karena memang beberapa pekan
sebelumnya sudah di panen. Cukup gesit dan cepat beliau menarik pancingan,
sedang ku tidak banyak bergerak karena mempelajari terlebih dahulu seluk beluk
balong. Semua hasil pancingan di taruh dalam ember yang berisi sedikit air daun
singkong. Kira-kira hanya 10% dari total ikan di ember hasil pancinganku,
sisanya milik Bapak. Dari sini kupetik hikmah bahwa beliau menjalankan perintah
Nabi SAW yang menyebut hendaklah setiap mukmin yang beriman pada Allah SWT dan
hari akhir hendaknya menghormati tetamunya (fal
yukrim jaarohu).
Episode “Khutbah”
Selain
mengisi kelas tafsir di Pesantren, beliau juga mengisi banyak majelis pengajian
rutin Quran dan Sunnah mulai dari sekitar Tasik, Ciamis, Banjar, Cilacap,
Bandung, hingga Banten. Diantaranya juga mengisi khutbah jumat di berbagai
Masjid. Alhamdulillah Allah beri kesempatan 3 kali mengikuti khutbah jumat
beliau. Tiada yang keluar dari lisannya saat menjadi khatib kecuali kumpulan
ayat dan hadits serta tafsiran para ulama akan keduanya. Ini sesuai dengan
perkataannya padaku bahwa “jika kita menjelaskan atau ditanya, maka cukupkan
diri dengan Qola Allah, Qola Rasul, atau bilang saya tidak tahu” yang bermakna
bahwa hendaklah setiap diri menjadikan Quran dan Sunnah jadi panduan.
Mimik
wajahnya datar, sorot mata tajam, penyampaiannya sistematis dan tersusun rapih.
Penyampaian khutbah agak lama tapi hampir tiada pendengar tertunduk dan
memejamkan mata. Karena memang kata yang keluar dari lidah ulama merasuk ke
hati, cerah wajah menambah pikatan mata untuk tetap menatapnya. Ada benar orang
yang mengatakan bahwa menatap wajah ulama itu meneduhkan bahkan mengingatkan
kita akan Tuhan.
Beberapa
saat setelah sholat jumat selesai kita makan bersama DKM Masjid, lalu ada yang
bertanya mengapa beliau memakai bahasa Indonesia dalam khutbahnya. Lalu sambil
makan nasi liwet beliau menjawab hanya sambil menunjuk diriku ini “dia tidak
bisa mengerti bahasa sunda”, semua yang sedang makan tersenyum dan
mengangguk-angguk.
Sontak
lantunan tasbih “subhanallah” keluar dari mulutku. Tak terpikir bahwa ternyata
selama ini beliau khutbah jumat menggunakan bahasa Indonesia agar diri ini
mengerti dan memahami maksud kajian secara sempurna.
Telah
kutulis dan kuingat isi khutbahnya, sebagian sudah kusampaikan pada beberapa
kesempatan pengajian. Tiada harapan kecuali agar itu menjadi salah satu amal
jariyah beliau yang tak terputus hingga kiamat kelak.
Episode “Sekilas tentang PERSIS &
MASJUMI”
Senin
sore ku duduk diatas bangku kayu di teras depan rumahnya, secangkir teh hangat
dan buku “PERSIS, Gerakan Islam Fundamental” terletak di atas meja marmer.
Tepat diseberang rumah, seorang ustadz di Masjid sedang mengisi kajian rutin
muslimah.
Kemudian
ku baca buku tersebut yang memang sengaja dibawa dari Jakarta menjadi bacaan
ringan perjalanan menuju Ciamis. Kuteruskan baca sampai halaman yang membahas
mengenai peran gerakan tokoh-tokoh PERSIS dalam MASJUMI diantara sekilas
membahas Moh. Natsir, Hassan Bandung, Isa Anshari, dan lain-lain yang merupakan
ulama sekaligus politisi muslim.
Tiba-tiba
beliau duduk di sebelahku, memakai kain dan kaos oblong santainya sambil
memegang rokok. Lalu aku masuk ke dalam sebentar mengambil air, dan ternyata
buku itu sedang dibaca olehnya. Ia tanya “buku siapa ini?” kujawab “buku saya
Pak, baru beli onlinei bersama
buku-buku langka lainnya”. Ia tersenyum lalu bercerita banyak tentang PERSIS
dan MASJUMI, tak lupa sebatang rokok melekat di bibirnya.
Sebagaimana
kita tahu bahwa Masjumi adalah partai pertama yang dibangun oleh seluruh
kelompok umat islam di Indonesia. Seluruh ormas Islam bersepakat menjadikan
MASJUMI sebagai kendaraan politik untuk merealisasikan agenda umat. Salah satu
pemimpin populer baik oleh kawan maupun lawan adalah Moh. Natsir dari PERSIS.
Beliau adalah murid Hassan Bandung yang terkenal ahli berdedat itu.
Bapak
cerita banyak hal, suatu hal yang sangat jarang, karena biasanya hampir tidak
berkata-kata. Alhamdulillah hobi membaca membantuku mengimbangi obrolan itu dan
membuatnya makin antusias berdiskusi. Hingga ia sebut bahwa nama putera
ketiganya itu diambil dari nama tokoh MASJUMI Jawa Barat yang sangat keras
berseberangan dengan kelompok nasionalis sekuler pada masa pembentukan negara
ini, yakni Isa Anshari. Tahulah aku bahwa nama anaknya yang juga penghafal
Quran itu terinspirasi dari tokoh besar MASJUMI.
Episode “Mitsaqan Ghalizha”
Seluruh
keluarga telah hadir, para undangan dan tamu sudah ada yang berdatangan sejak
pagi. 25 Maret 2012 adalah saat dimana beliau menjadi saksi pernikahanku.
Prosesi menuju akad dimulai dengan hikmat. Setelah khutbah nikah disampaikan di
atas mimbar oleh Prof. Maman Abdurrakhman (Ketua Umum PERSIS), pembawa acara
melanjutkan acara “marilah kita lanjut pada acara inti yaitu akad nikah yang
akan dipimpin langsung oleh Bapak KH. M. Udin Saepudin”. Degub di dada makin
menjadi, tak terbayang suatu hal yang sering dibicarakan kini tinggal menunggu
hitungan menit. Bapak memulainya dengan memberi taushiyah dan hikmah
pernikahan. Bapak mulai dengan muqoddimah ayat Quran dan Hadits, lalu untaian
nasihatnya ku perhatikan betul keluar dari sela-sela giginya. Jenggotnya yang
putih memanjang menambah kewibawaan dirinya.
“Saya meminta, anak saya ini jangan
hanya di kasih makan, di kasih perhiasan, dikasih rumah, tapi yang lebih
penting diberi asupan ruhani, senantiasa dibimbing dan diajari. Karena jika
anak sholih maka orang tua menuai pahala, sebaliknya jika anak ingkar maka
orang tua punya tanggung jawab terhadapnya”
Begitu
sedikit penggalan butiran hikmah Bapak yang tertancap di hati. Kulihat matanya
berkaca-kaca saat menyampaikan nasihat kepada calon anaknya, aku. Begitu berat
nampaknya ia melepas anak perempuan satu-satunya. Tersirat pesan kuat pada
wajahnya “jaga anakku sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.
Kupikir
yang menikahkan adalah penghulu, ternyata prosesi akad langsung dipimpin Bapak,
sedang penghulu hanya duduk menyaksikan di kiri Bapak. Hadirin makin maju padat
kedepan, sorotan kamera siap menuju tepat dihadapan.
Bapak
langsung menjulurkan tangan kanannya, kemudian kusambut dengan dengan tangan
kanan pula. Jemariku menelengkup jemarinya, kuat tergenggam. Sementara di
kening mulai basah oleh keringat tanda kugugupan datang. Tak lama berselang
dengan tegas bapak mengucap:
“Bismillaahirrahmaanirraahiim...Farid,
Aku kawinkan engkau, aku nikahkan engkau dengan anakku Nisa Fauziah”, sontak
kujawab “Saya terima nikah dan kawinnya Nisa Fauziah binti KH Saefudin dengan
mas kawin tunai!”, sesaat setelah itu Prof Maman sebagai saksi berteriak “Sah!”
kemudian hadirin bergemuruh “Sahhhhhh!!!” Alhamdulillah.... terdengar kuat
tersampai doa “Baarokallah laka wa baroka ‘alaikuma wa jama’ah bainakuma fi
khoir”.
Penutup
Ya,
beliau adalah mertuaku sendiri, almarhum
KH M. Udin Saepudin. Tak lama memang berinteraksi dengan beliau, tapi adalah
benar bahwa hati itu ibarat prajurit, ia akan bergabung dengan hati yang memiliki frekuensi yang sama.
Beliau
mengajarkan bahwa cinta tak harus banyak berkata, bahwa perhatian tak harus
disampaikan, bahwa nasihat tak harus disampaikan lewat lisan dan tulisan akan
tetapi dengan diam dan tauladan.
Duhai
Bapak engkau kembali ke hadirat-Nya 25 Februari 2012, setahun kurang lebih
berinteraksi. Dan yang paling membuatku bahagia adalah bahwa anakku telah lahir
dari rahim anak perempuan tunggalmu dan sempat merasakan peluk dan doamu,
bahkan engkau pula yang mengusulkan nama Omar padanya. Semoga Omar kelak
mewarisi keshalihanmu.
Ya Allah, jadikanlah kuburnya sebagai
taman dari taman-taman surga, ampuni, rahmati, berkahi Ya Robb.Pertemukanlah
kami semua di surga Firdaus-Mu.